Sabtu, 16 Mei 2009

Tasawuf Kontemporer

MAKALAH-KULIAH

TASAWUF KONTEMPORER

Oleh:

ABDULLAH KHUSAIRI

NIM 08806804

Dosen Pembimbing:

PROF. DR. H. DUSKI SAMAD, MA

A. Pendahuluan

Ketika peradaban ummat manusia sampai pada puncaknya, pertanyaan yang mendasar tentang eksistensi kehadirannya di dunia kembali muncul untuk mendapatkan jawaban. Apa sebenarnya hakikat manusia hidup di dunia? Ketika pertanyaan itu muncul, peradaban puncak itu runtuh dengan sendirinya. Maka, kehidupan yang masuk fase digitalisasi, dunia serba di ujung jari[1], hanya menjadi tiada berarti. Muncul kegersangan jiwa dan manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain. Manusia akhirnya kembali mencari dan menggali kedalaman makna kehidupan dan hakikat dirinya.[2]

Eksistensi kehidupan dunia ternyata tak sekedar mencari dan memenuhi hasrat terhadap materi belaka. Jiwa yang selama ini kurus kering dan berkerontang tak dipenuhi kebutuhannya meminta untuk diisi dan diberi makan juga. Inilah titik balik yang membuat beberapa waktu terakhir munculnya fenomena menarik masyarakat kota. Tumbuhnya pola hidup beragama yang berwajah lain. Agama tak sekedar ritual aktual tetapi menjadi ritual religi yang menumbuhkan aura kesadaran mendalam atas ibadah dan pendekatan diri terhadap Pencipta. Jika selama ini agama hanyalah sebuah bentuk ibadah formal, menyaru kepentingan duniawi atasnya, digali lebih dalam mendekati titik ketakutan manusia atas kematian nurani yang selama ini telah terbelenggu dalam kerangkeng materialisme, terkubur di bawa liberalisme dan kapitalisme. Maka agama kini tak sekedar kegiatan rutin tanpa memberi sentuhan kedekatan bathin terhadap Pencipta. Dengan kata lain, ketika modernisasi Barat meninggalkan agama, mempengaruhi semua lini kehidupan, maka atas kesadaran terhadap kekosongan jiwa, pada saat itulah agama diajak kembali di masa posmodernis saat ini.

Dr. KH. Hamdan Rasyid, di dalam buknya berjudul Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, mengatakan, fenomena menarik pada sebagian masyarakat di kota-kota besar sekarang ini, yaitu mereka mulai tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan pola hidup sufistik. Hal ini dapat dilihat dari banjirnya buku-buku tasawuf di tokok-toko buku, bermunculannya kajian-kajian tasawuf dan maraknya tayangan-tayangan, baik di TV maupun radio.[3]

Inilah sebuah bukti, ternyata agama telah dibawa untuk hidup di wilayah industri dan digitalisasi. Maka kitab suci masuk ruang internet, diolah ke dalam MP3, pesantren virtual, dan segala macamnya. Fenomena ini makin menarik dikaji mengingat betapa pongahnya masyarakat modern ketika puncak kehidupannya yang rasional, empiris telah membawa mereka ke puncak peradaban.[4]

Makalah ini mencoba masuk pada kajian, apakah ini bentuk tasawuf kontemporer? Dari mana akar peradabannya?

B. Pengertian

Sangat rumit untuk mencocokkan fenomena ini sebagai sebuah bentuk aktual kehidupan agama di tengah masyarakat kota. Apalagi tidak ada bimbingan tokoh dan fase yang menjadi petunjuk dalam kajian ini. Oleh karenanya, penulis mencoba berangkat dari pengertian dua kata; tasawuf dan kontemporer. Dimana, pengertian-pengertian itu akan memberi pemahaman dan batasan, baik dari segi waktu maupun konteks yang akan dibicarakan.

Ahli bahasa masih berbeda pendapat terhadap pengertian tasawuf. Ada yang menyebut tasawuf dari kata shafa’ yang berarti suci, bersih, ibarat kilatan kaca. Sebagian yang lain berpendapat bahwa tasawuf itu berasal dari kata shuf, yang berarti bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan mengamalkan ajaran tasawuf (pada masa awal Islam) itu memakai baju dari bulu binatang yang kasar sebagai bentuk pemberontakan, kebencian terhadap hidup glamour, pakaian indah dan mahal.

Namun sebagian ahli bahasa juga ada yang menyatakan bahwa kata tasawuf diambil dari kata shuffah (kaum shuffah), yaitu segolongan sahabat Rasulullah SAW yang memisahkan diri di satu tempat tersendiri di samping masjid Nabawi, yang mereka ini mempunyai pola hidup menjauhi kehidupan dunia. Ada juga sebagian ahli bahasia yang berpendapat bahwa sebenarnya tasawuf berasal dari kata shufanah, yaitu sejenis kayu mersik yang tumbuh di padang pasir tanah Arab. Bahkan ada juga di antara para ahli yang menyatakan tasawuf bukanlah berasal dari akar bahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa Yunani Lama yang diarabkan yaitu dari kata Theosofie yang berarti ilmu ketuhanan, yang kemudian diarabkan dan diucapkan oleh lidah orang Arab menjadi tasawuf.[5]

Terlepas dari perbedaan di kalangan ahli bahasa tentang arti dan asal kata tasawuf, namun ada benang merah dari semua kata tersebut, yaitu tasawuf adalah sebuah ajaran (Pola Hidup) yang mengajarkan kepada manusia untuk membersih diri dari sesuatu yang hina dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.

Dengan kata lain, tasawuf adalah ajaran bagaimana berakhlak dengan akhlak rabbaniyah, seperti iman, amal shaleh, ibadah, dakwah, akhlak dan bakti kepada orang tua, untuk mencapai maqam yang tinggi, yaitu dekat dan keredhaan Allah SWT. Atau dengan ungkapan lain, tasawuf pada dasarnya adalah takhalluq, dan takhalluq pada dasarnya berakhlak mulia kepada sesama. Meneladani Rasulullah SAW dan mengharap kecintaan denga meninggalkan nafsu duniawi.[6]

Jadi, sufi (orang yang mengamalkan ajaran tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang hina dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau sampai pada maqam tertinggi.[7] Dan jika seseorang telah dekat denga Allah dan meraih cinta-Nya, karena kemuliaan akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat dan dicintai oleh sesama manusia.

Setelah memahami selintas pengertian tasawuf, penulis kemukakan pengertian istilah Kontemporer. Istilah dari akar kata bahasa Inggris yang dipungut menjadi istilah bahasa Indonesia, contemporary, berarti sezaman, sebaya, seumur dan zaman sekarang,[8] dewasa ini, mutakhir, sedangkan kata mutakhir berarti terbaru atau modern pada masa kini, misalnya pameran seni lukis kontemporer.[9] Secara harfiah, kontemporer dapat dipahami sebagai waktu sekarang yang aktual. Terkini dan menjadi trend baru.

Beranjak dari pengertian dua akar kata di atas, menurut penulis, kita diajak untuk menangkap fenomena terkini terhadap perkembangan sosial dunia tasawuf. Dimana secara garis besar dapat dibagi dua corak, tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi.[10]

Tentu tidaklah mudah untuk menarik kesimpulan dan menformat fenomena tersebut menjadi sebuah grand teori, karena gejala tersebut justru tengah berlangsung hingga detik ini. Tetapi secara akademis ilmiah hal ini patut dilakukan, mengingat bagaimana arah dan tujuan hidup manusia pada perkembangan zaman ini.

C. Fenomena Tasawuf Kontemporer

Bagaimana bisa menyebut tasawuf kontemporer sebagai bentuk baru dari suasana beragama dan pencarian manusia terhadap Pencipta. Setidaknya penulis memiliki tawaran pemikiran sebagai berikut; Tasawuf kontemporer tidak terlepas dari kontek ajaran tasawuf klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah secara langsung terhadap tasawuf klasik. Kalau masih ada silsilah, tentu saja ia masih masuk kategori tasawuf klasik. Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah masyarakat kota mengambil ajaran tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru berbasis agama karena dibutuhkan oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat kota terhadap persaingan hidup membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah komunikasi massa dan teknologi.

Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer adalah penamaan yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan neo-sufisme Fazlur Rahman[11] dan tasawuf modern, yang diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (uzlah). Hal ini menurut Nurcholis Madjid, neo-sufism menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada sufism terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi dan menanam kembali sikap positif terhadap kehidupan. [12]

Pemahaman ini bisa memberi bukti konkrit ketika melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota saat ini. Terdapat lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada tarekat dan digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media Network (IMaN), Kelompok Kajian Islam Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf Islamic Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan mengaplikasikan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal. Misalnya Dzikir Bersama, Taubat, Terapi Dzikir.

Wajah tasauf dalam bentuk lain dilakukan —dan sangat laku— Emotional Spritual Question (ESQ) di bawah pimpinan Ari Ginanjar. Konon, konsep awal ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan Amerika dalam mengantisipasi kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.

Selain bentuk lembaga, dalam pengembangannya melibatkan komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk buku, pamflet, iklan, adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran Televisi, hingga internet (misalnya, www.sufinews.com, www.pesantrenonline.com, gusmus.net, myquran.com). Siaran televisi yang sehari-hari dapat ditonton, memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya dengan booming sinetron misteri dengan tayangan dzikir bersama dan ceramah agama. Berawal dari Televisi Manajemen Qolbu (MQ TV) di Bandung di bawah pimpinan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), muncul beberapa nama lain menyusulnya. Sekedar menyebut, Arifin Ilham, Ustazd Jefri.

Karena masuk pada ranah industri dan bersentuhan dengan komersialisme, tasauf terkesan menjadi alat untuk mengedepankan perilaku keagamaan yang katarsis. Bersedih dan disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela masuk tasawuf menjadi arena penyesalan yang dipertontonkan. Dzikir, sebagai lapazkan secara bersama-sama panduan yang terpaksa khusu’, Do’a yang disandiwarakan dengan tetes air mata.

Artinya, jika tidak hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada substansi penghayatan.

Karena ia masuk dalam wadah publikasi, maka ongkos (bahasa yang lebih sopan digunakan; mahar) yang harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi pujaan. Berbeda dengan tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap guru spiritual, yang terjadi pada tasawuf kontemporer adalah pemujaan idola yang tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler terhadap Madonna. Dan janganlah heran, jika hari lebaran, salah satu baju “wajib” dibeli kaum muslim adalah baju (simbol) yang dipakai sang idola. Suasana religius yang terpaksa hadir itu juga dibayar mahal jika akan menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh naif, bila dipandang dari segi ajaran tasawuf itu sendiri.

Selain bentuk-bentuk di atas, tanpa mengurangi kehadiran tasauf klasik yang masih berkembang bersamaan juga dengan tarekat yang sudah pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer juga ditunjukkan dalam bentuk terapi pengobatan. Seperti terapi Narkoba dengan Dzikir Abah Sepuh dan Abah Anom di Pesantren Suralaya. Pengamalan ibadah agama—shalat wajib, shalat sunat—yang lengkap dan metode tasauf (taubat, dzikir) yang dijalankan selama 24 jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.[13]

Agaknya, inilah yang lebih spesifik dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang ada di tengah masyarakat kota. Kalau begitu, apa beda antara tasawuf kontemporer? Dalam segi semangat, tidak ada beda. Hanya segi waktu dan model yang ditawarkan. Jika masa modern banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer beralihnya model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa, terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu adalah, dimana masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru yang sesuai pada selera zamannya.

D. Analisa Kritis Terhadap Tasawuf Kontemporer

Pemaparan di atas sesungguhnya belum final dan butuh analisa bersama dalam diskursus kajian fenomena tasawuf. Namun penulis mencoba menghantarkan, bahwa tasawuf kontemporer sebuah bentuk aktual corak beragama masyarakat kota. Jika tidak hati-hati, atau salah dalam pengajaran dan aplikasinya akan membawa bentuk pseudo tasawuf. Atau lebih ekstrim lagi, tasawuf kontemporer yang bersentuhan dengan corak sufistik, hanyalah mengambil semangat yang tidak utuh dari tasawuf konvensional yang dikenal selama ini. Apabila kita memahami corak sufistik, seakan-akan hanya mengarah kepada dunia tasawuf, bukan masuk ke dalam ranah tasawuf secara total.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Azyumardi Azra. Azyumardi membagi tiga bentuk tasawuf yang menyita masyarakat akhir-akhir ini, pertama Student Sufism, Convensional Sufism dan Urban Sufism.[14]

Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik). Seperti kedekatan terhadap Pencipta, kehadiran Pencipta dalam kehidupan sehari-hari, menjadi insan kamil. Melihat coraknya, pengembangan tasauf kontemporer mengarah kepada tubuhnya tasawuf akhlaqi, dimana mengedepan sikap kesahajaan dan ibadah yang banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Pencipta.

Tetapi, apresiasi positif yang patut diberikan kepada mereka yang mengusung tasawuf dengan wajah baru ini adalah, mereka masuk dalam mewarnai zaman. Tak terbayangkan, jika mereka tidak ada. Kekosongan pada wilayah massa akan membuat kepercayaan diri (confidence self) beragama masyarakat akan terus menurun. Tentu saja, nuansa keagamaan akan tidak terlihat lagi di permukaan. Setidaknya, mereka sekarang sudah memulainya untuk menjawab kebutuhan rohani masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf kontemporer merupakan bentuk alternatif beragama sebagai pilihan setelah goncangan ketiadaan dan kekosongan jiwa. Dimana jiwa yang kurus kering tidak pernah mendapat sentuhan religi, sementara jiwa memiliki kebutuhan tersebut tetapi tidak pernah diberikan.

E. Penutup

Tasawuf kontemporer adalah tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf klasik dan konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku, tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini, bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.

Tasawuf kontemporer masih berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari pada esensi. Walau pun demikian, mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf kontemporer terus mencoba dan menggali serta merasakan, juga mengakui mereka sudah masuk dalam dunia tasawuf. Menurut analisa penulis, tentulah tidak akan mampu marwah tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara total tanpa mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut. Apalagi hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa yang dikomersilkan — karena dibutuhkan pasar— kepada masyarakat kota.

Walau pun secara tidak langsung ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara mendalam setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut analisa penulis, ada kerinduan masyarakat kota untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah beragama. Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus terus diawasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung bermata dua.

Terlepas dari plus dan minus ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf, semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di tengah masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah kehidupan beragama.

Mari kita diskusikan!

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rahman, Drs, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet. 1 Bandung, 2004

Halim, Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasawuf di Dunia Islam, Penerbit, Pustaka Setia, Jakarta, 2002

Hamka, Prof. Dr. , Tasawuf Modern, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 2005

Rasyid, Hamdan Dr KH, MA, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, Al-Mawardi, Jakarta, 2006

Solihin Dr M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Rajawali Pers, Jakarta, 2005

Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1995

Seyyed Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M), Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002.

Abdullah Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. www.khusairi.blogspot.com

Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo; Penerbit Tiga Serangkai 2004

Nazib Zuhdi, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, 1993

WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1999

Drs. Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996


[1]Abdullah Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. Halaman 26. Buka juga, www.khusairi.blogspot.com.

[2]Ajaran tasawuf memberikan perimbangan antara kecendrungan duniawi dan ukhrawi. Tasawuf menemukan momentum saat sekarang, ketika kaum terdidik, pengusaha da masyarakat kampus banyak tertarik terhadap kajian tasawuf. Lebih-lebih setelah disadari tidak ada korelasi linear antara agama dengan tingkah laku. Agama barus dilakukan sebagai ritual, bukan aktual. Baca lebih lanjut Kata Pengantar, Prof. Dr.Nasaruddin Umar, MA dalam Drs Ahmad Rahman, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet. 1 Mei 2004).

[3]Hamdan Rasyid, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, (Jakarta: Al-Mawardi), halaman 30.

[4]Abdullah Khusairi, opcit.

[5]Prof. Dr. Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 2005), halaman 12.

[6]Halim, Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasauf di Dunia Islam, (Jogjakarta, Pustaka Setia Tahun 2002) halaman 234.

[7]Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, (Solo; Penerbit Tiga Serangkai, Tahun 2004), Cet. I, halaman 3-5.

[8]Nazib Zuhdi, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, (Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, Tahun 1993) halaman 118.

[9]WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka 1999), halaman 521.

[10]Secara sekilas, dapat dijelaskan pokok-pokok ajaran tasawuf dalam struktur yang umum dan global, serta singkat. Tasawuf Akhlaqi, Takhalli, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, Tahalli, mengisi diri dengan sifat2 terpuji. Tajalli, terungkapnya nur gaib untuk hati. Munajat, melaporkan aktivitas diri pada Allah, Muraqabah dan muhasabah: selalu memperhatikan dan diperhatikan Allah dan menghitung amal, Memperbanyak wirid dan zikr, Mengingat mati, Tafakkur: merenung/meditasi. Struktur Tasawuf Amali, Syari’ah: mengikuti hukum agama, Thariqah, perjalanan menuju Allah, Haqiqah, aspek batiniah dari syari’ah. Ma’rifah, pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati. Jalan Mendekatkan diri kepada Allah. Maqamat, tahapan, tingkatan. Taubah, pembersihan diri dari dosa Zuhd, sederhana dalam hal duniawi. Sabr: pengendalian diri. Tawakal, berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ridha, menerima qada dan qadar dengan rela. Mahabah, cinta kepada Allah. Ma’rifah, mengenal keesaan Tuhan, Ahwal, kondisi mental. Khauf, merasa takut kepada Allah. Raja’, optimis terhadap karunia Allah. Syauq, rindu pada Allah. Uns: keterpusatan hanya kepada Allah. Yaqin, mantapnya pengetahuan tentang Allah. Tasawuf Falsafi. Fana’ dan Baqa’, lenyapnya kesadaran dan kekal. Ittihad, persatuan antara manusia dengan Tuhan. Hulul, penyatuan sifat ketuhanan dg sifat kemanusiaan. Wahdah al-Wujud, alam dan Allah adalah sesuatu yang satu. Isyraq, pancaran cahaya atau iluminasi. Disarikan dari Drs. Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996, hal.65-176 .

[11]Neo-sufisme pertama diusung Fazlur Rahman, yang memiliki arti sufism baru. Kebalikan dari sufism terdahulu, yang mengedepankan individualistik dan ukhrawi yang bersifat eksatis-metafisis dan kandungan mistiko-filosofis. Hal senada juga diusung oleh Hamka. Wacana ini sudah didiskusikan beberapa waktu lalu. Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer, satu sisi masuk pada barisan Fazlur Rahman dan Hamka. Di sisi lain, tasawuf kontemporer, hanyalah bagian dari bahan mentah industrialisasi.

[12]Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta; Yayasan Paramadina, 1995) hal. 94.

[13]Lihat, Solihin Dr M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Rajawali Pers, Jakarta 2005)

[14]Baca kertas kuliah Dr Duski Samad MAg, Tasawuf Modern, Student Sufism, Convensional Sufism dan Urban Sufism. Studen Sufism, tumbuh di kalangan intelektual, perguruan tinggi, pengusaha yang membutuhkan sentuhan rohani dalam hidup mereka. Convensional Sufism, memiliki akar tarekat dan tasawuf abad klasik, pertengahan.Penulis merekomendasi buku Seyyed Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M), Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002. Buku ini memaparkan secara kritis peran dan pengaruh tasawuf dalam penyebaran agama Islam. Aliran-aliran tasawuf, seperti tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi dipapar tuntas. Urban Sufism, bentuk baru yang memungkinkan disebut pseudo sufistik karena menyamaratakan semua bentuk ibadah semua agama yang bersinggungan dengan masalah ibadah rohaniah. Barisan ini seperti Anand Khrisna.


Sumber:

http://abdullahkhusairi.com/?p=1630


Tidak ada komentar:

Posting Komentar