Minggu, 05 Juli 2009

Akhlaq Tercela

Tasawuf Islam: Setiap Muslim yang ingin meningkatkan derajat hidupnya menjadi seorang sufi, tidaklah wajar memiliki akhlaq tercela, untuk itu sudah sewajarnya mensucikan dirinya dari akhlaq tercela. Dustalah seseorang mengaku diri sebagai sufi, jika masih memiliki akhlaq tercela pada dirinya. Adapun akhlaq tercela yang harus disucikan dari diri adalah:

1. Mengikuti hawa nafsu.
2. 'Ujub.
3. Menguping yang tidak berguna.
4. Sombong.
5. Berlebihan.
6. Menyesali kebaikan.
7. Menta'ati orang yang melampaui batas.
8. Berdusta tas nama Allah.
9. Berdusta atas nama Rasulullah.
10. Berbuat kerusakan.
11. Kikir.
12. Angkuh.
13. Melacurkan diri.
14. Membenci.
15. Melanggar hak.
16. Menuduh.
17. Boros.
18. Memata-matai.
19. Menyebarkan berita bohong.
20. Memberi gelar yang buruk.
21. Membanggakan diri.
22. Terang-terangan berbauat kemungkaran.
23. Terang-terangan berkata buruk.
24. Hasud.
25. Khianat.
26. Riya.
27. Berprasangka buruk.
28. Tamak.
29. Terpedaya pada kesenangan dunia.
30. Curang.
31. Menunggu masaknya makanan ketika bertamu.
32. Marah.
33. Lalai.
34. Gibah.
35. Fasik.
36. Berdusta.
37. Ucapan tidak sesuai dengan perbuatan.
38. Berbuat keji.
39. Keras hati.
40. Kekafiran.
41. Mengumpat.
42. Mencela.
43. Licik.
44. Enggan melakukan kebaikan.
45. Makar.
46. Ingkar janji.
47. Namimah (mengelabui orang lain).
48. Menyebut-nyebut kebaikan diri sendiri.

Demikianlah akhlaq tercela yang harus disucikan pada diri setiap sufi yang ingin memiliki kesempurnaan dirinya dalam kesufiannya di muka bumi Allah ini, dustalah seseorang mengaku diri sebagai seorang sufi jika masih memiliki akhlaq tercela. www.tasawufislam.blogspot.com

Jumat, 12 Juni 2009

Akhlak Terpuji

Tasawuf Islam: Setiap sufi wajib mengisi diri dengan akhlak terpuji, agar menjadi insan terpuji di hadapan Allah dan terpuji pula di hadapan selain Allah, dengan begitu sempurnalah kesucian dirinya dan terujilah kesucian batinnya sehingga layak menjadi sufiyallah (insan suci yang berjalan di atas jalan Allah), tanpa akhlak terpuji itu maka dustalah kesufiannya di bumi Allah ini.

Adapun akhlak terpuji yang saya maksudkan itu adalah:
1. Ihsan.
2. Berteman baik.
3. Istiqamah.
4. Ishlah.
5. Bersikap menengah.
6. Menjauhi perbuatan sia-sia.
7. Adil.
8. Tawaddu'.
9. Menolak kejahatan dengan kebajikan.
10. Kasih sayang.
11. Syukur nikmat.
12. Bersikap terpuji.
13. Sabar.
14. Siddiq.
15. Tabligh.
16. Amanah.
17. Fathonah.
18. Dermawan.
19. Pema'af.
20. Menundukkan pandangan.
21. Menjaga kemaluan.
22. Berbuat kebajikan.
23. Menghormati tamu.
24. Sederhana dalam berjalan.
25. Melunakkan suara.
26. Berbicara dengan baik.
27. Sopan dalam berbuat.
28. Menahan amarah.
29. Berlomba dalam berbuat baik.
30. Bersih.
31. Menepati janji.

Semoga bermanfaat. www.tasawufislam.blogspot.com

Senin, 18 Mei 2009

Tasawuf Sunni Di Indonesia

Tasawuf Islam: Seperti dicatat Alwi Shihab dalam bukunya "Islam Sufistik, Islam Pertama Dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia": Tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at.

Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri.

Menurut Ar-Raniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam.

Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni.

Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri.

Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa.

Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan. (hlm 264)

Kesalahan fatal penganut tasawuf sunni adalah kesimpulan mereka bahwa ajaran Ronggowarsito merupakan diaspora dari tasawuf falsafi. Padahal dalam karya-karya sosok yang disebut-sebut Bapak Kebatinan Indonesia ini, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, yang sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah, menyimpan beberapa kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran yang sangat mencolok.

Bahkan, Alwi menemukan bahwa Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Lagi pula Ronggowarsito sendiri belum pernah bersentuhan langsung dengan karya-karya Al-Hallaj maupun Ibn 'Arabi yang merupakan maestro tasawuf falsafi.

Boleh dibilang Ronggowarsito memang tak berhasil memahami ajaran "murni" tasawuf. (hlm 266)

Maka bagi Alwi adalah aneh bila tasawuf falsafi dipresepsi sebagai aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Buddha, seperti dituduhkan kalangan tasawuf sunni. Justru, seperti pengantar yang ditulis KH Abdurrahman Wahid untuk buku ini, reaksi atas perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan, doktrin-doktrin yang sinkretik, yang justru bisa diatasi ketika ajaran "panteisme" Al-Hallaj masuk lewat perantaraan Sitti Jenar. (hlm xxvi)

Belum lagi doktrin-doktrin wahdah al wujud Ibn 'Arabi dan ilmu hudhuri (iluminasi) Suhrawardi, yang juga menjadi rujukan utama tasawuf falsafi, mampu menampung kebutuhan sementara kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Buddha.

Oleh karena itu, sungguh tak arif rasanya bila kemudian kita mengatakan bahwa perkembangan tasawuf sunni merupakan satu-satunya variabel yang menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara. Kita juga harus menerima bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang merupakan tetesan penerus tasawuf falsafi yang dibawa Al-'Arabi dan Al-Hallaj dan diperkenalkan Fansuri dan Sitti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam. www.tasawufislam.blogspot.com

Sumber:

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0108/27/dikbud/melu37.htm

Pengertian Akhlak Tasawuf

Tasawuf Islam: Secara etimologis ahkhlaq adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabi?at। Mempunyai sinonim etika dan moral। Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata etos : kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya. Kata akhlaq berasal dari kata kerja khalaqa yang artinya menciptakan. Khaliq maknanya pencipta atau Tuhan dan makhluq artinya yang diciptakan, sedangkang khalaq maknanya penciptaan. Kata khalaqa yang mempunyai kata yang seakar diatas mengandung maksud bahwa akhlaq merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna lain kata akhlaq dapat diartikan tata perilaku seseorang terhadap orang lain. Jika perilaku atupun tindakan tersebut didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut sebagai akhlaq hakiki. Dengan demikian akhlaq dapat dimaknai tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan serta alam semest

Pengertian akhlaq secara terminologis menurut :

a) Imam Ghozali :

الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر ورؤية

Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan?.

b) Ibnu Maskawaih :

الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية

Akhlaq adalah gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran.

c) Menurut Ahmad Amin :

الخلق عادة الإرادة

Khuluq (akhlaq) adalah membiasakan kehendak.

Dari berbagai definisi diatas, definisi yang disampaikan oleh Ahmad Amin lebih jelas menampakkan unsur yang mendorong terjadinya akhlaq yaitu ?adah : kebiasaan dan iradah : kehendak. Jika ditampilkan satu contoh proses akhlaq adalah ;

1) Dalam ?adah; - harus ada kecenderungan untuk melakukan sesuatu, - terdapat pengulangan yang sering dikerjakan sehingga tidak memerlukan pikiran.

2) Dalam iradah: a) lahir keinginan-keinginan setelah ada rangsangan (stimulan) melalui indra-इन्द्रन्य b) muncul kebimbangan, mana yang harus dipilih diantara keinginan-keinginan itu। Padahal harus memilih satu dari keinginan tersebut c) mengambil keputusan dengan menentukan keinginan yang diprioritaskan diantara banyak keinginan tersebut.

Contoh Pada jam 2 siang seorang berangkat ke pasar untuk mencari bengkel motor untuk membeli kampas rem. Di saat memasuki lorong gang, ketika menoleh ke arah kanan melihat warung makan yang penuh sesak dan kepulan bau nikmat yang ia hirup. Sesaat kemudian melihat arah kiri, terdapat es cendol yang laris dibeli orang. Padahal orang tersebut sudah lapar dan haus. Sementara di arah depan kelihatan mushalla yang nampak bersih dan dilihat hilir mudik orang sembahyang. Kemudian orang tersebut menentukan shalat terlebih dahulu karena mempertimbangkan jam yang sudah limit. Kesimpulan yang dipilih oleh orang tersebut setelah banyak mempertimbangkan beberapa keinginan disebut iradah. Jika iradah tersebut dibiasakan setiap ada beberapa keinginan dengan tanpa berpikir panjang karena sudah dirasakan oleh dirinya maka disebut akhlak.

Sebaliknya ada seorang kaya, mendengarkan pengajian Da?i kondang menjelaskan hikmah infaq. Orang itu kemudian tertarik dan secara spontan memberikan uang satu juta rupiah untuk didermakan. Orang tersebut belum termasuk dermawan, karena pemberiannya ada dorongan dari luar. Orang tidak termasuk ramah tamu jika ia senang membeda-bedakan tamu yang datang. Dengan demikian akhlaq bersifat konstan (tetap-selalu) spontan, tidak temporer dan juga tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar.

Disamping akhlaq ada istilah lain disebut etika dan moral masing-masing bahasa Latin. Tiga istilah diatas sama ?sama menentukan nilai baik dan buruk sikap perbuatan seseorang. Bedanya akhlaq mempunyai standar ajaran yang bersumber kepada al-Qur?an dan Sunnah Rasul. Etika berstandar kepada akal pikiran, sedangkan moral bersumber kepada adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. Dalam penggunaan kata-kata tersebut kadang-kadang terjadi tumpang tindih, seperti Hassan Shadily menggunakan istilah moral sama dengan akhlaq. www.tasawufislam.blogspot.com

Sumber:
http://www.aminazizcenter.com/2009/artikel-61-kuliah-akhlak-tasawuf.html

Sabtu, 16 Mei 2009

Hamzah Fansuri

Tasawuf Islam dari www.indonesiafile.com/content/view/48/42 dituliskan bahwa: Tasawuf Falsafi Nusantara pertama diterapkan ulama sufi Hamzah Fansuri. Tak diketahui jelas kelahirannya tapi diperkirakan sufi-pujangga itu wafat sekitar 1607 M. Ia lahir di suatu desa bernama Syahru Nawi di Siam (kini Thailand). Data itu diperoleh dari kitab yang ditulisnya, Rubaiyyat. Ia hidup pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah dan pada awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh antara 1550-1605 M.


Di samping bahasa Melayu Indonesia, ia juga menguasai bahasa Arab dan Persia. Dalam pengembaraan intelektualnya, ia sempat berkunjung ke Irak, Persia, India dan dua kota suci, Makkah dan Madinah. Di Irak, malah ia mendapatkan penghargaan sufi untuk Tarekat Jailani dari salah seorang syaikh (guru). Namun, sampai sekarang, siapa saja guru Fansuri, tak banyak diketahui.


Hanya saja, dalam karya-karyanya, ia menyebut beberapa nama sufi besar yang kerap menginspirasinya. Semisal Abu Yazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, al-Mas'udi, al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi, al-Iraqi, al-Maghribi Syah Ni'matullah, dan al-Jami'. Fansuri tidak saja rajin menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka, tapi juga menulis beberapa karya terkait dengan corak tasawuf yang diacunya.

Dalam tradisi tasawuf Nusantara, ada dua corak dominan saat itu. Pertama, tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni adalah jenis tasawuf dengan poros ajaran Imam al-Ghazali. Kitab yang dirujuk adalah Ihya Ulumuddin, Minhaj al-Abidin, dan Bidayah al-Hidayah. Tasawuf Sunni banyak diikuti oleh para ulama dan fuqaha yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Itu disebabkan tasawuf juga yang dikembangkan oleh Wali Songo ketika menyebarkan Islam di bumi Nusantara.

Inilah salah satu karya dari syair-syair Fansuri:

Saat kau menjadikan harta sebagai teman,

maka akibatnya adalah kehancuran,

keputusannya jauh dari kebenaran,

sebagaimana jauhnya dari keikhlasan.

Wahai nak yang memahami,

jangan menemani orang yang zalim

karena Rasul yang bijaksana, melarang

menolong kezaliman

Wahai kaum fuqara,

jauhilah menemani para umara

karena Rasul memberi peringatan

tidak membedakan yang kecil dari yang besar.

Melalui syair-syair itu, Fansuri mengritik, baik ulama, fuqaha atau para penguasa yang lalai dengan tugas-tugasnya. Tidak terbuai oleh kemewahan dan jangan terjebak kepada fanatisme buta. Apalagi ketika telah diselubungi oleh keangkuhan dan kesombongan. Syair-syair itu sekaligus menunjukkan bahwa Fansuri adalah ulama yang sangat peduli dengan kondisi sosial masyarakatnya.

Prosa dan syair karangan beliau sebetulnya sangatlah banyak. Namun, karena karya-karyanya sempat dibakar oleh salah satu kelompok yang tidak menyukainya di depan Masjid Raya Aceh, sebagian besar karyanya hangus. Hanya ada beberapa risalah tasawuf yang berhasil diselamatkan dan dianggap sebagai karya orisinal Fansuri. Di antaranya adalah Kitab Syarab al-Asyiqin (Minuman Orang yang Berahi), Asrar al-'Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), al-Muntaha, dan Zinat al-Wahidin (Perhiasan Orang-orang yang Mengesakan). Syarab al-Asyiqin, secara umum, adalah ikhtisar berisi ajaran wahdat al-wujud Ibnu Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi, dan Abd al-Karim al-Jilli. Risalah itu memuat tahap-tahap pencapaian makrifat dengan mengikuti amalan Tarekat Qadariyah. Kitab itu merupakan panduan bagi pemula dalam ilmu suluk yang terbagi dalam 7 bab. Bab 1, 2, 3, dan 4 menguraikan tahap-tahap ilmu suluk, yang terdiri dari syari'at, thariqat, hakikat, dan makrifat.

Hamzah Fansuri ini adalah seorang mistikus yang mengikuti ajaran kesatuan eksistensial (wihdat al-wujud) milik Ibnu Arabi. Menurutnya, ketika segala sesuatu itu belum ada atau belum ber-wujud, maka yang pertama-tama ada hanyalah Allah sebagai Zat Semata, tanpa sifat dan nama. Allah sebagai zat itu adalah Allah dalam kondisi diam tanpa aktivitas atau Allah dalam aspeknya yang adikodrati (transenden). Ia adalah Yang Awwal dan Yang Akhir, yang tiada teribaratkan dan tiada termisalkan. Nama Zat Semata adalah Huwa.

Hamzah Fansuri menambahkan, Allah dalam kondisi diam tanpa aktivitas tersebut, adalah seperti laut yang dalam, karena hakikat dari Zat tidak dapat dikenal dan diketahui. Lagi pula, tak seorang juapun dapat tahu akan hal itu. Jadi, kalau Allah dalam sisi-Nya yang transenden adalah Zat Semata dan bernama Huwa, jadi Allah dalam kondisi beraktivitas atau sisi imanen-Nya bernama Allah. Allah adalah himpunan segala nama Allah, dan di bawah nama Allah ini terdapat banyak sekali nama, namun yang terkenal ada 99 nama yang biasa diberi nama asma al-husna. Allah dalam aspek hakikat-Nya yang bernama Zat dan Allah dalam aspek imanen-Nya, yaitu wujud yang bernama Allah, maka Zat Allah dengan wujud Allah adalah esa.

Hamzah Fansuri ini menegaskan bahwasanya wujud Allah dan wujud alam adalah esa. Alam tidak memiliki wujud sebab menurut beliau, alam itu bukanlah wujud. Wujud alam itu adalah wujud bayang-bayang atau wujud wahmi, artinya bagaikan bayang-bayang pada cermin, ia tampaknya memiliki wujud tapi sebenarnya tidak. Jadi, karena alam ini tidak berwujud sendiri melainkan diberikan wujud oleh Allah, maka rupanya ada tapi pada hakikatnya tidaklah ada.

Sebenarnya Hamzah Fansuri melalui simbol cermin itu hendak menjelaskan hubungan timbal balik yang tidak terpisahkan antara Allah dan alam seperti tampak dalam ajarannya mengenai penciptaan. Bagi Hamzah, proses penciptaan tak lain ialah proses di mana Allah memanifestasikan diri-Nya sendiri, atau dalam istilah disebut dengan tajalli, dan proses pemanifestasian diri ini dilakukan melalui berbagai fase yang disebut dengan ta'ayyunat, yaitu kenyataan pertama, biasa disebut martabat wahdat, atau pemanifestasian Zat kepada diri-Nya sendiri. Pada saat Allah melihat pada diri-Nya sendiri, maka Allah melihat kesempurnaan diri-Nya.

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya, Ketahui olehmu bahwa sesungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabat alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta'ala, martabat Dzat Allah Ta'ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam 'alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta'ala, maka alam arwah adalah martabat (hakikat) segala nyawa, alam mitsal adalah martabat (hakikat) segala rupa, alam ajsam adalah martabat (hakikat) segala tubuh, dan alam insan adalah martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta'ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk. www.tasawufislam.blogspot.com

Tasawuf Falsafi

A. Definisi Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

Dari adanya aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri. kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.

Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al-qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.

Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal:

Sumber dari Nasrani:
1.Konsep Tawakal
2.Peranan Syekh
3.Adanya ajaran tentang menehan diri tidak menikah.

Sumber Hindu:
1. Al-fanah = Nirwana
2. Zuhud = menjahui dunia

Sumber Yunani (fil. Barat):
1. Filsafat Ilmu jiwa
2. Filsafat Phytagoras
3. Filsafat Plotinus
4. Termasuk juga gnotisisme.

Dari sinilah nampak ada kemiripan dalam ajaran setiapa masing yang diakibatkan dari akulturasi sehingga terjadi penjumboan (bersatu) antara ajaran Islam dalam tasawuf dengan yang lain.


Pendapat yang ketiga ini yang mengatakan tasawuf itu bukan dari mana-mana yaitu independen, dengan berdasarkan dengan kisah bahwa pada waktu itu ada seorang raja yang hidup bergelimpangan dengan harta namun dia masih mengalami ketegangan dalam hidupdalam artian jiwanya belum tenang, akhirnya atas nasihat dari seseorang yang dia temui di hutan saat berburu mencoba mengasingkan diri ke bhutan dan meninggalkan semua hartanya. sehingga dari sini dapat di tarik bahwa tasawuf muncul untuk mengatasi kebosan seseorang dari kehidupan dunia tanpa adanya spiritualitas dalam jiwa sehingga mengalami kekeringan jiwa, yang kemudian diisi kembali dengan nilai spiritualitas dengan menjahui kehidupan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan.


Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf itu benar-benar asali (murni) dari ajaran Islam yang tidak di syari’atkan atau di sunnahkan oleh nabi meskipun beliau juga melakukanya. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari akulturasi ajaran lain termasuk gnotis itu juga tidak bisa disalahkan, sebab adanya pengklasifikasian tasawuf sehingga muncul beberapa tasawuf, seperti tasawuf sunni, salafi dan tasawuf falsafi membuat determinasi diantaranya. maka jikalau dikatakan tasawuf adalah akulturasi antara Islam dengan yang lain itu termasuk tasawuf falsafi yang mana telah mengedepankan asas rasio sehingga berbaur dengan fisafat-filsafat yang ada di ajaran lain, dimana dalam menganalisis tasawuf dengan paham emanasi Neo-platonisme dalam semua fariasi baik dari Ibn Sina samapai Mulla Shadra.

B. Latar belakang berkembangnya Tasawuf Falsafi

Perenungan ketuhanan kelompok sufi dapat dikatakan sebagai reaksi terhadap corak pemikiran teologis pada masa itu. Di pihak lain, para filosof dengan tujuan menjembatani antara agama dengan filsafat, terpaksa mempreteli sebagaian dari sifat-sifat Tuhan sehingga Tuhan tidak mempunyai kreativitas lagi. dengan perkembangan tasawuf yang mempunyai tipologi, secara global dapat diformasikan adanya tiga konsep tentang Tuhan yaitu; konsepti etikal, konsepi estetikal dan konsepsi union mistikal.

Konsepsi etikal berkembang pada zuhada, munurut mereka Dat Tuhan adalah sumber kekuatan, daya iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta tertinggi, oleh kaena itu perasaan takut kepada Tuhan lebih mempengaruhi mereka ketimbang rasa pengharapan. timbulnya konsep ini bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara manusia dengang Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Doktrin ini belanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.

Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampl sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Plotinus.

Andaya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para fisful muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalanya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.

Namun istilah tasawuf fal safi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh teosofi yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya. orang kedu yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara isan dengan Tuhan.

Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi. sebelum Ibn arabi muncul teorinya seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh mengembangkan teori yang sama yaitu al-wahdat asa-syuhud.
Pada umumnya konsep ini diterima dan berkembang dari kaum syi’ah dan bermazhabkan Mu’tazilah. Makanya nama lain dari tasawuf falsafi juga di sebut dengan tasawuf Syi’i. diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, karena dimungkinkann disana dulu adalah kawasan sebelum Islam sudah mengenal filsafat.

Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong pada konsep kesatuan wujud. Inti dari jaran ini adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia ini hanyalah bayangan yang keberadaannya tergantung dengan wujud Tuhan, sehingga realitas hidup ini hakikatnya tunggal.
Atas dasar seperti itu tentang Tuhan yang seperti itu, mereka berpendapat bahwa alam dan segala yang ada termasuk manusia merupakan radiasi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke –Tuhanan, karena merupakan pancaran dari Tuhan.

Dari konsep seperti ini lah para sufi dari tasawuf falsafi ini mempunyai karakteristik sendiri sehingga dapat di pukul rata bahwa semua konsep yang ditawarkan oleh para sufi falsafi ini adalah konsep wihdatul wujud, meskipun dalam penjabarannya mengalami perbedaan dan perkembangan yang berbeda antara sufi yang satu dengan sufi yang lain.

Seperti hanya dalam konsep emanasi, Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Dimana ia mencoba mengambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu, kalau meminjam bahasanya Plotinus ialah The One.

Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahwakan mengalami kritikana dari sufi-sufi yang lain. Misalnya sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunkan konsep yang rasional dengan istilah Nur yang mana ia mencoba merujuk dari al-qur’an sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya..

Akan tetapi Mulla Shadra membedakan cahaya kedalam dua kategori yaitu cahaya yang tidak mempunyai sifat dan cahaya yang menunjukkan sebuah sifat dari barang itu. Misal cahaya yang menunjukkan sifatdari benda itu ialah cahaya lampu, matahari, cahaya lampu lalulintas dan lain-lain. Sedangkan cahaya yang tak menggandung dari sifat benda ialah cahaya Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam bukunya Syekh Adurun Nafis menggabarkan bahwa Nur Tuhan bukan cahaya, jadi nur adalah nur bukan cahaya.

Bisa kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf falsafi muncul dari ketakajuban para filsuf Islam yang mencoba mengombinasikan konsep ajaran dengan tasawuf. Atau bisa dikatakan konsep tasawuf dikemas dan dipandang dari segi kacamata filosofis, sehingga memunculkan ajaran-ajaran yang sifatnya lebih ke teoritis dan tak lepas dari pengaruh dari konsep emanasinya Plotinus.

Sumber:
http://slendangwetan29.blogspot.com/2008/02/tasawuf-falsafi.html

Belajar Tasawuf

Tanya: Assalamu'alaikum Wr. Wb. Saya seorang pelajar di sebuah SMK Kudus, saya ingin belajar tasawuf, pertanyaan saya:

1. Umur berapa seseorang boleh belajar tasawuf?

2. Tahapan-tahapan apa yang harus dijalani untuk masuk tasawuf?

3. Bolehkah saya belajar tasawuf dari Bapak?

Selanjutnya saya mohon doa:

1. Agar selalu ingat kepada Allah

2. Agar pikiran cerdas menerima pelajaran di sekolah

3. Agar jauh dari godaan setan. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

A Gusmintoyo


Mejobo, Kudus

Jawab :Tasawuf adalah suatu bidang ilmu keislaman dengan berbagai pembagian di dalamnya, yaitu Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Tasawuf Akhlaqi berupa ajaran mengenai moral/akhlak yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Ajaran yang terdapat dalam tasawuf ini meliputi Takhalli, yaitu penyucian diri dari sifat-sifat tercela. Tahalli, yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap perbuatan terpuji dan Tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi (Cahaya Tuhan) seiring dengan sirnanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri manusia setelah tahapan takhalli dan tahalli dilalui.

Tasawuf Amali berupa tuntunan praktis tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Ini identik dengan Tarekat, sehingga bagi mereka yang masuk tarekat akan memperoleh bimbingan semacam itu. Sementara Tasawuf Falsafi berupa kajian tasawuf yang dilakukan secara mendalam dengan tinjauan filosofis dengan segala aspek yang terkait di dalamnya. Dalam Tasawuf Falsafi ini dipadukan visi intuitif tasawuf dan visi rasional filsafat. Dari ketiga bagian tasawuf tersebut, secara esensial semua bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni (mahdlah) untuk mewujudkan akhlak al-karimah baik secara individual maupun sosial.

Berdasarkan tujuan dari tasawuf tersebut, yaitu berupaya membentuk watak manusia yang memiliki sikap mental dan perilaku yang baik (akhlaqul karimah). Manusia yang bermoral dan memiliki etika serta sopan santun, baik terhadap diri pribadi, orang lain, lingkungan dan Tuhan, maka semua orang wajib belajar tasawuf (Tasawuf Akhlaqi).

Belajar tasawuf ini sudah harus dimulai semenjak dini seiring dengan penanaman nilai-nilai keagamaan pada anak-anak. Orang tua dan para guru adalah tempat menimba dan mendidik tasawuf. (Anda boleh belajar tasawuf pada saya, tetapi perlu juga belajar pada orang lain, sebab kemampuan saya sangat terbatas).

Namun belajar tasawuf secara mendalam, yaitu Tasawuf Amali dan khususnya Tasawuf Falsafi, memang diharapkan dilakukan setelah seseorang memiliki tingkat pengetahuan akidah dan syariah yang mencukupi. Untuk lebih jelasnya mengenai masalah tersebut juga tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum belajar tasawuf. Silahkan baca artikel ''Tasawuf dan Perdukunan'' pada kolom Tasawuf Interaktif Suara Merdeka Sabtu, 23 November 2002 ''Mursyid dan Tarekat'' (Suara Merdeka edisi Sabtu, 3 Agustus 2002), atau ''Mengenali Diri Kunci Mengenali Tuhan'' (Suara Merdeka edisi Sabtu, 21 Desember 2002).

Untuk belajar Tasawuf Amali dan Falsafi harus kepada ahlinya. Anda dapat membaca buku-buku mengenai tasawuf seperti ''Sufi dari Zaman ke Zaman'', ''Tasawuf dan Krisis'', ''Menggugat Tasawuf'', ''Tasawuf dan Tarekat'', Intelektualisme Tasawuf, dan lain-lain.

Untuk permohonan doa yang Anda sampaikan, seperti saya utarakan di muka, tasawuf adalah akhlak, termasuk di dalamnya akhlak kepada Allah. Dalam tasawuf diajarkan manusia diharapkan selalu ingat kepada Allah, kapan pun dan di mana pun. Dengan mengingat Allah maka segenap aktivitas manusia selalu terkontrol karena merasa selalu dalam pengawasan Allah (muraqabah), selalu berbuat baik dan tidak mudah tergoda hawa nafsu dan setan sehingga terjerumus ke dalam perbuatan jahat.

Untuk selalu ingat kepada Allah (dzikir) adalah dengan selalu menyebut nama-nama Allah (asma'ul husna) seperti ''Allah'', membaca tasbih: ''Subhanallah'', takbir ''Allahu Akbar'', tahlil ''La ilaha illa Allah'', dan sebagainya, ataupun membaca Alquran. Dengan demikian diharapkan memperoleh makna dari firman Allah dalam surat Ar-Ra'd 13: 28: ''Dan orang-orang yang beriman, yang tenang hatinya dengan selalu mengingat Allah. Ketahuilah, hanya dengan dzikir hati akan menjadi tenang''.

Kemudian agar memiliki kemampuan berpikir yang baik, mudah menerima pelajaran, tidak cukup hanya dengan berdoa tetapi harus dengan usaha yang tekun. Baik usaha lahir seperti belajar yang giat, makan dengan gizi seimbang, dan usaha batin dengan melakukan riyadhah (tirakat/laku batin) seperti melakukan puasa sunah Senin Kamis, shalat malam, dan sebagainya, serta menjauhi perbuatan dosa (maksiyat).

Hati adalah ibarat cermin, bisa cerah karena ketaatan dan bisa buram karena kedurhakaan. Dengan menghindari dosa, maka hati kita bisa cerah dan dengan demikian maka kita terhindar dari godaan setan. Demikian jawaban saya, semoga Anda berhasil. Wa Allah a'lam bi al-shawab.(35)

Sumber:

http://www.suaramerdeka.com/harian/0302/22/ragam5.htm

Tasawuf Kontemporer

MAKALAH-KULIAH

TASAWUF KONTEMPORER

Oleh:

ABDULLAH KHUSAIRI

NIM 08806804

Dosen Pembimbing:

PROF. DR. H. DUSKI SAMAD, MA

A. Pendahuluan

Ketika peradaban ummat manusia sampai pada puncaknya, pertanyaan yang mendasar tentang eksistensi kehadirannya di dunia kembali muncul untuk mendapatkan jawaban. Apa sebenarnya hakikat manusia hidup di dunia? Ketika pertanyaan itu muncul, peradaban puncak itu runtuh dengan sendirinya. Maka, kehidupan yang masuk fase digitalisasi, dunia serba di ujung jari[1], hanya menjadi tiada berarti. Muncul kegersangan jiwa dan manusia kembali mencari jati diri dalam bentuk lain. Manusia akhirnya kembali mencari dan menggali kedalaman makna kehidupan dan hakikat dirinya.[2]

Eksistensi kehidupan dunia ternyata tak sekedar mencari dan memenuhi hasrat terhadap materi belaka. Jiwa yang selama ini kurus kering dan berkerontang tak dipenuhi kebutuhannya meminta untuk diisi dan diberi makan juga. Inilah titik balik yang membuat beberapa waktu terakhir munculnya fenomena menarik masyarakat kota. Tumbuhnya pola hidup beragama yang berwajah lain. Agama tak sekedar ritual aktual tetapi menjadi ritual religi yang menumbuhkan aura kesadaran mendalam atas ibadah dan pendekatan diri terhadap Pencipta. Jika selama ini agama hanyalah sebuah bentuk ibadah formal, menyaru kepentingan duniawi atasnya, digali lebih dalam mendekati titik ketakutan manusia atas kematian nurani yang selama ini telah terbelenggu dalam kerangkeng materialisme, terkubur di bawa liberalisme dan kapitalisme. Maka agama kini tak sekedar kegiatan rutin tanpa memberi sentuhan kedekatan bathin terhadap Pencipta. Dengan kata lain, ketika modernisasi Barat meninggalkan agama, mempengaruhi semua lini kehidupan, maka atas kesadaran terhadap kekosongan jiwa, pada saat itulah agama diajak kembali di masa posmodernis saat ini.

Dr. KH. Hamdan Rasyid, di dalam buknya berjudul Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, mengatakan, fenomena menarik pada sebagian masyarakat di kota-kota besar sekarang ini, yaitu mereka mulai tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan pola hidup sufistik. Hal ini dapat dilihat dari banjirnya buku-buku tasawuf di tokok-toko buku, bermunculannya kajian-kajian tasawuf dan maraknya tayangan-tayangan, baik di TV maupun radio.[3]

Inilah sebuah bukti, ternyata agama telah dibawa untuk hidup di wilayah industri dan digitalisasi. Maka kitab suci masuk ruang internet, diolah ke dalam MP3, pesantren virtual, dan segala macamnya. Fenomena ini makin menarik dikaji mengingat betapa pongahnya masyarakat modern ketika puncak kehidupannya yang rasional, empiris telah membawa mereka ke puncak peradaban.[4]

Makalah ini mencoba masuk pada kajian, apakah ini bentuk tasawuf kontemporer? Dari mana akar peradabannya?

B. Pengertian

Sangat rumit untuk mencocokkan fenomena ini sebagai sebuah bentuk aktual kehidupan agama di tengah masyarakat kota. Apalagi tidak ada bimbingan tokoh dan fase yang menjadi petunjuk dalam kajian ini. Oleh karenanya, penulis mencoba berangkat dari pengertian dua kata; tasawuf dan kontemporer. Dimana, pengertian-pengertian itu akan memberi pemahaman dan batasan, baik dari segi waktu maupun konteks yang akan dibicarakan.

Ahli bahasa masih berbeda pendapat terhadap pengertian tasawuf. Ada yang menyebut tasawuf dari kata shafa’ yang berarti suci, bersih, ibarat kilatan kaca. Sebagian yang lain berpendapat bahwa tasawuf itu berasal dari kata shuf, yang berarti bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan mengamalkan ajaran tasawuf (pada masa awal Islam) itu memakai baju dari bulu binatang yang kasar sebagai bentuk pemberontakan, kebencian terhadap hidup glamour, pakaian indah dan mahal.

Namun sebagian ahli bahasa juga ada yang menyatakan bahwa kata tasawuf diambil dari kata shuffah (kaum shuffah), yaitu segolongan sahabat Rasulullah SAW yang memisahkan diri di satu tempat tersendiri di samping masjid Nabawi, yang mereka ini mempunyai pola hidup menjauhi kehidupan dunia. Ada juga sebagian ahli bahasia yang berpendapat bahwa sebenarnya tasawuf berasal dari kata shufanah, yaitu sejenis kayu mersik yang tumbuh di padang pasir tanah Arab. Bahkan ada juga di antara para ahli yang menyatakan tasawuf bukanlah berasal dari akar bahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa Yunani Lama yang diarabkan yaitu dari kata Theosofie yang berarti ilmu ketuhanan, yang kemudian diarabkan dan diucapkan oleh lidah orang Arab menjadi tasawuf.[5]

Terlepas dari perbedaan di kalangan ahli bahasa tentang arti dan asal kata tasawuf, namun ada benang merah dari semua kata tersebut, yaitu tasawuf adalah sebuah ajaran (Pola Hidup) yang mengajarkan kepada manusia untuk membersih diri dari sesuatu yang hina dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.

Dengan kata lain, tasawuf adalah ajaran bagaimana berakhlak dengan akhlak rabbaniyah, seperti iman, amal shaleh, ibadah, dakwah, akhlak dan bakti kepada orang tua, untuk mencapai maqam yang tinggi, yaitu dekat dan keredhaan Allah SWT. Atau dengan ungkapan lain, tasawuf pada dasarnya adalah takhalluq, dan takhalluq pada dasarnya berakhlak mulia kepada sesama. Meneladani Rasulullah SAW dan mengharap kecintaan denga meninggalkan nafsu duniawi.[6]

Jadi, sufi (orang yang mengamalkan ajaran tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang hina dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau sampai pada maqam tertinggi.[7] Dan jika seseorang telah dekat denga Allah dan meraih cinta-Nya, karena kemuliaan akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat dan dicintai oleh sesama manusia.

Setelah memahami selintas pengertian tasawuf, penulis kemukakan pengertian istilah Kontemporer. Istilah dari akar kata bahasa Inggris yang dipungut menjadi istilah bahasa Indonesia, contemporary, berarti sezaman, sebaya, seumur dan zaman sekarang,[8] dewasa ini, mutakhir, sedangkan kata mutakhir berarti terbaru atau modern pada masa kini, misalnya pameran seni lukis kontemporer.[9] Secara harfiah, kontemporer dapat dipahami sebagai waktu sekarang yang aktual. Terkini dan menjadi trend baru.

Beranjak dari pengertian dua akar kata di atas, menurut penulis, kita diajak untuk menangkap fenomena terkini terhadap perkembangan sosial dunia tasawuf. Dimana secara garis besar dapat dibagi dua corak, tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi.[10]

Tentu tidaklah mudah untuk menarik kesimpulan dan menformat fenomena tersebut menjadi sebuah grand teori, karena gejala tersebut justru tengah berlangsung hingga detik ini. Tetapi secara akademis ilmiah hal ini patut dilakukan, mengingat bagaimana arah dan tujuan hidup manusia pada perkembangan zaman ini.

C. Fenomena Tasawuf Kontemporer

Bagaimana bisa menyebut tasawuf kontemporer sebagai bentuk baru dari suasana beragama dan pencarian manusia terhadap Pencipta. Setidaknya penulis memiliki tawaran pemikiran sebagai berikut; Tasawuf kontemporer tidak terlepas dari kontek ajaran tasawuf klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah secara langsung terhadap tasawuf klasik. Kalau masih ada silsilah, tentu saja ia masih masuk kategori tasawuf klasik. Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah masyarakat kota mengambil ajaran tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru berbasis agama karena dibutuhkan oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat kota terhadap persaingan hidup membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah komunikasi massa dan teknologi.

Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer adalah penamaan yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan neo-sufisme Fazlur Rahman[11] dan tasawuf modern, yang diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (uzlah). Hal ini menurut Nurcholis Madjid, neo-sufism menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada sufism terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi dan menanam kembali sikap positif terhadap kehidupan. [12]

Pemahaman ini bisa memberi bukti konkrit ketika melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota saat ini. Terdapat lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada tarekat dan digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media Network (IMaN), Kelompok Kajian Islam Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf Islamic Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan mengaplikasikan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal. Misalnya Dzikir Bersama, Taubat, Terapi Dzikir.

Wajah tasauf dalam bentuk lain dilakukan —dan sangat laku— Emotional Spritual Question (ESQ) di bawah pimpinan Ari Ginanjar. Konon, konsep awal ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan Amerika dalam mengantisipasi kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.

Selain bentuk lembaga, dalam pengembangannya melibatkan komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk buku, pamflet, iklan, adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran Televisi, hingga internet (misalnya, www.sufinews.com, www.pesantrenonline.com, gusmus.net, myquran.com). Siaran televisi yang sehari-hari dapat ditonton, memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya dengan booming sinetron misteri dengan tayangan dzikir bersama dan ceramah agama. Berawal dari Televisi Manajemen Qolbu (MQ TV) di Bandung di bawah pimpinan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), muncul beberapa nama lain menyusulnya. Sekedar menyebut, Arifin Ilham, Ustazd Jefri.

Karena masuk pada ranah industri dan bersentuhan dengan komersialisme, tasauf terkesan menjadi alat untuk mengedepankan perilaku keagamaan yang katarsis. Bersedih dan disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela masuk tasawuf menjadi arena penyesalan yang dipertontonkan. Dzikir, sebagai lapazkan secara bersama-sama panduan yang terpaksa khusu’, Do’a yang disandiwarakan dengan tetes air mata.

Artinya, jika tidak hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada substansi penghayatan.

Karena ia masuk dalam wadah publikasi, maka ongkos (bahasa yang lebih sopan digunakan; mahar) yang harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi pujaan. Berbeda dengan tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap guru spiritual, yang terjadi pada tasawuf kontemporer adalah pemujaan idola yang tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler terhadap Madonna. Dan janganlah heran, jika hari lebaran, salah satu baju “wajib” dibeli kaum muslim adalah baju (simbol) yang dipakai sang idola. Suasana religius yang terpaksa hadir itu juga dibayar mahal jika akan menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh naif, bila dipandang dari segi ajaran tasawuf itu sendiri.

Selain bentuk-bentuk di atas, tanpa mengurangi kehadiran tasauf klasik yang masih berkembang bersamaan juga dengan tarekat yang sudah pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer juga ditunjukkan dalam bentuk terapi pengobatan. Seperti terapi Narkoba dengan Dzikir Abah Sepuh dan Abah Anom di Pesantren Suralaya. Pengamalan ibadah agama—shalat wajib, shalat sunat—yang lengkap dan metode tasauf (taubat, dzikir) yang dijalankan selama 24 jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.[13]

Agaknya, inilah yang lebih spesifik dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang ada di tengah masyarakat kota. Kalau begitu, apa beda antara tasawuf kontemporer? Dalam segi semangat, tidak ada beda. Hanya segi waktu dan model yang ditawarkan. Jika masa modern banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer beralihnya model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa, terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu adalah, dimana masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru yang sesuai pada selera zamannya.

D. Analisa Kritis Terhadap Tasawuf Kontemporer

Pemaparan di atas sesungguhnya belum final dan butuh analisa bersama dalam diskursus kajian fenomena tasawuf. Namun penulis mencoba menghantarkan, bahwa tasawuf kontemporer sebuah bentuk aktual corak beragama masyarakat kota. Jika tidak hati-hati, atau salah dalam pengajaran dan aplikasinya akan membawa bentuk pseudo tasawuf. Atau lebih ekstrim lagi, tasawuf kontemporer yang bersentuhan dengan corak sufistik, hanyalah mengambil semangat yang tidak utuh dari tasawuf konvensional yang dikenal selama ini. Apabila kita memahami corak sufistik, seakan-akan hanya mengarah kepada dunia tasawuf, bukan masuk ke dalam ranah tasawuf secara total.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Azyumardi Azra. Azyumardi membagi tiga bentuk tasawuf yang menyita masyarakat akhir-akhir ini, pertama Student Sufism, Convensional Sufism dan Urban Sufism.[14]

Pencapaian yang hendak ditujukan oleh tasawuf kontemporer adalah sama dengan konsep para sufi terdahulu (sufi klasik). Seperti kedekatan terhadap Pencipta, kehadiran Pencipta dalam kehidupan sehari-hari, menjadi insan kamil. Melihat coraknya, pengembangan tasauf kontemporer mengarah kepada tubuhnya tasawuf akhlaqi, dimana mengedepan sikap kesahajaan dan ibadah yang banyak untuk mencapai kedamaian hidup dan kedekatan diri dengan Pencipta.

Tetapi, apresiasi positif yang patut diberikan kepada mereka yang mengusung tasawuf dengan wajah baru ini adalah, mereka masuk dalam mewarnai zaman. Tak terbayangkan, jika mereka tidak ada. Kekosongan pada wilayah massa akan membuat kepercayaan diri (confidence self) beragama masyarakat akan terus menurun. Tentu saja, nuansa keagamaan akan tidak terlihat lagi di permukaan. Setidaknya, mereka sekarang sudah memulainya untuk menjawab kebutuhan rohani masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf kontemporer merupakan bentuk alternatif beragama sebagai pilihan setelah goncangan ketiadaan dan kekosongan jiwa. Dimana jiwa yang kurus kering tidak pernah mendapat sentuhan religi, sementara jiwa memiliki kebutuhan tersebut tetapi tidak pernah diberikan.

E. Penutup

Tasawuf kontemporer adalah tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf klasik dan konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku, tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini, bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.

Tasawuf kontemporer masih berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari pada esensi. Walau pun demikian, mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf kontemporer terus mencoba dan menggali serta merasakan, juga mengakui mereka sudah masuk dalam dunia tasawuf. Menurut analisa penulis, tentulah tidak akan mampu marwah tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara total tanpa mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut. Apalagi hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa yang dikomersilkan — karena dibutuhkan pasar— kepada masyarakat kota.

Walau pun secara tidak langsung ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara mendalam setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut analisa penulis, ada kerinduan masyarakat kota untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah beragama. Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus terus diawasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung bermata dua.

Terlepas dari plus dan minus ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf, semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di tengah masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah kehidupan beragama.

Mari kita diskusikan!

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rahman, Drs, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet. 1 Bandung, 2004

Halim, Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasawuf di Dunia Islam, Penerbit, Pustaka Setia, Jakarta, 2002

Hamka, Prof. Dr. , Tasawuf Modern, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 2005

Rasyid, Hamdan Dr KH, MA, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, Al-Mawardi, Jakarta, 2006

Solihin Dr M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Rajawali Pers, Jakarta, 2005

Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1995

Seyyed Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M), Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002.

Abdullah Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. www.khusairi.blogspot.com

Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo; Penerbit Tiga Serangkai 2004

Nazib Zuhdi, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, 1993

WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka 1999

Drs. Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996


[1]Abdullah Khusairi, Hipokrisi dalam Posmodernisme, Harian Pagi Padang Ekspres Minggu, 17 Desember 2006. Halaman 26. Buka juga, www.khusairi.blogspot.com.

[2]Ajaran tasawuf memberikan perimbangan antara kecendrungan duniawi dan ukhrawi. Tasawuf menemukan momentum saat sekarang, ketika kaum terdidik, pengusaha da masyarakat kampus banyak tertarik terhadap kajian tasawuf. Lebih-lebih setelah disadari tidak ada korelasi linear antara agama dengan tingkah laku. Agama barus dilakukan sebagai ritual, bukan aktual. Baca lebih lanjut Kata Pengantar, Prof. Dr.Nasaruddin Umar, MA dalam Drs Ahmad Rahman, M.Ag, Sastra Ilahi, Ilham Sirriyah Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, Penerbit Hikmah Mizan, Cet. 1 Mei 2004).

[3]Hamdan Rasyid, Sufi Berdasi, Mencapai Derajat Sufi dalam Kehidupan Modern, (Jakarta: Al-Mawardi), halaman 30.

[4]Abdullah Khusairi, opcit.

[5]Prof. Dr. Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 2005), halaman 12.

[6]Halim, Abdul Mahmud, Prof Dr, Tasauf di Dunia Islam, (Jogjakarta, Pustaka Setia Tahun 2002) halaman 234.

[7]Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, (Solo; Penerbit Tiga Serangkai, Tahun 2004), Cet. I, halaman 3-5.

[8]Nazib Zuhdi, Kamus Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, (Penerbit, Fajar Mulya Surabaya, Tahun 1993) halaman 118.

[9]WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka 1999), halaman 521.

[10]Secara sekilas, dapat dijelaskan pokok-pokok ajaran tasawuf dalam struktur yang umum dan global, serta singkat. Tasawuf Akhlaqi, Takhalli, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, Tahalli, mengisi diri dengan sifat2 terpuji. Tajalli, terungkapnya nur gaib untuk hati. Munajat, melaporkan aktivitas diri pada Allah, Muraqabah dan muhasabah: selalu memperhatikan dan diperhatikan Allah dan menghitung amal, Memperbanyak wirid dan zikr, Mengingat mati, Tafakkur: merenung/meditasi. Struktur Tasawuf Amali, Syari’ah: mengikuti hukum agama, Thariqah, perjalanan menuju Allah, Haqiqah, aspek batiniah dari syari’ah. Ma’rifah, pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati. Jalan Mendekatkan diri kepada Allah. Maqamat, tahapan, tingkatan. Taubah, pembersihan diri dari dosa Zuhd, sederhana dalam hal duniawi. Sabr: pengendalian diri. Tawakal, berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Ridha, menerima qada dan qadar dengan rela. Mahabah, cinta kepada Allah. Ma’rifah, mengenal keesaan Tuhan, Ahwal, kondisi mental. Khauf, merasa takut kepada Allah. Raja’, optimis terhadap karunia Allah. Syauq, rindu pada Allah. Uns: keterpusatan hanya kepada Allah. Yaqin, mantapnya pengetahuan tentang Allah. Tasawuf Falsafi. Fana’ dan Baqa’, lenyapnya kesadaran dan kekal. Ittihad, persatuan antara manusia dengan Tuhan. Hulul, penyatuan sifat ketuhanan dg sifat kemanusiaan. Wahdah al-Wujud, alam dan Allah adalah sesuatu yang satu. Isyraq, pancaran cahaya atau iluminasi. Disarikan dari Drs. Asmaran As, M.A, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, 1996, hal.65-176 .

[11]Neo-sufisme pertama diusung Fazlur Rahman, yang memiliki arti sufism baru. Kebalikan dari sufism terdahulu, yang mengedepankan individualistik dan ukhrawi yang bersifat eksatis-metafisis dan kandungan mistiko-filosofis. Hal senada juga diusung oleh Hamka. Wacana ini sudah didiskusikan beberapa waktu lalu. Penulis berpendapat, tasawuf kontemporer, satu sisi masuk pada barisan Fazlur Rahman dan Hamka. Di sisi lain, tasawuf kontemporer, hanyalah bagian dari bahan mentah industrialisasi.

[12]Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah, (Jakarta; Yayasan Paramadina, 1995) hal. 94.

[13]Lihat, Solihin Dr M MAg, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Rajawali Pers, Jakarta 2005)

[14]Baca kertas kuliah Dr Duski Samad MAg, Tasawuf Modern, Student Sufism, Convensional Sufism dan Urban Sufism. Studen Sufism, tumbuh di kalangan intelektual, perguruan tinggi, pengusaha yang membutuhkan sentuhan rohani dalam hidup mereka. Convensional Sufism, memiliki akar tarekat dan tasawuf abad klasik, pertengahan.Penulis merekomendasi buku Seyyed Hossein Nasr, dkk, Warisan Sufi, Sufisme Klasik dari Permulaan hingga Rumi (700-1300 M), Jogjakarta, Pustaka Sufi 2002. Buku ini memaparkan secara kritis peran dan pengaruh tasawuf dalam penyebaran agama Islam. Aliran-aliran tasawuf, seperti tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi dipapar tuntas. Urban Sufism, bentuk baru yang memungkinkan disebut pseudo sufistik karena menyamaratakan semua bentuk ibadah semua agama yang bersinggungan dengan masalah ibadah rohaniah. Barisan ini seperti Anand Khrisna.


Sumber:

http://abdullahkhusairi.com/?p=1630