Minggu, 18 Juli 2010

Tariqat Muhammadiyah

Tasawuf Islam: "Karena tariqat artinya adalah jalan, maka yang saya maksud dengan tariqat Muhammadiyah dalam kajian ini adalah jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyin dalam mengabdikan dirinya kepada Allah, sehingga dapat masuk ke pintu sorga. Semoga bukan cuman berada di pintu sorga sebagai penonton saja, tetapi ikut di dalam sorga itu sebagai ahli dan penghuni sorga. Ndak ada Lho, ndak rame, hehehee." (Mas Gun).

Muhammadiyin memiliki beberapa maqam, diantaranya adalah:

A. Maqam Qalbiyah

Maqam qolbi ini terdiri dari:
1. Berpegang teguh kepada Al-Qur'an
2. Berpegang teguh kepada As-Sunnah Rasulullah
3. Berpegang teguh kepada Hadits Shahih
4. Berpegang teguh kepada aqidah Qur'aniyah wal haditsiyah
5. Berpegang teguh kepada hukum Qur'aniyah wal haditsiyah
6. Tegas dalam perkara bid'ah
7. Istiqamah dalam memberantas syirkullah
8. Berlaku sedang dalam beramal
9. Taqwa


B. Maqam Fikriyah

Untuk meningkatkan kualitas insani Muhammadiyin, Muhammadiyah menempuh proses pendidikan berjenjang, diantaranya adalah:

Pendidikan Formal:
1. Taman Kanak-Kanak Busthanul Athfal (TK ABA)
2. Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM)
3. Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (MTs.M) atau SMPM
4. Madrasah Aliyah Muhammadiyah (MAM) atau SMAM
5. Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM, S.1, S.2, S.3)

Pendidikan Non Formal:
1. Taman Bacaan Al-Qur'an
2. Penataran Kepemimpinan Muhammadiyah
3. Perkaderan Muhammadiyah
4. Pengajian Pimpinan Muhammadiyah
5. Tabligh Mobil Muhammadiyah
6. Tabligh Akbar Muhammadiyah
7. Pembinaan Ortom Muhammadiyah

C. Maqam Jasadiyah

1. Pimpinan Ranting Muhammadiyah
2. Pimpinan Cabang Muhammadiyah
3. Pimpinan Daerah Muhammadiyah
4. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
5. Pimpinan Pusat Muhammadiyah

D. Maqam Estafeta Kaderisasi Muhammadiyah

1. Ikatan Pelajar Muhammadiyah
2. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
3. Tapak Suci Putra Muhammadiyah
4. Pemuda Muhammadiyah
5. Nasyiyathul 'Aisyiyah
6. 'Aisyiyah
7. Muhammadiyah

Selasa, 13 Juli 2010

Nuruddin Ar-Raniri

Propil Singkatnya

Nuruddin Al-Raniri, nama lengkapnya adalah Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi, adalah ulama penasehat di kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Rani, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Ilmu Yang Dikuasainya

Ar Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, qalam, fiqih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanul Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (IAIN) di Banda Aceh.

Gurunya

Beliau di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafis Abdullah Basyeiban yang yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus kerna adalah khalifah Tariqah Al-Idrus Alawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qadariyah dari gurunya.

Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah menikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.

Peranannya Di Banda Aceh

Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.

Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan. Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.

Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham manunggaling kawula lan Gusti'. Karena pada konsep manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu, maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham wihdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya kembali kepada Allah.

Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan beliau dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama, hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah saja.

Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan aqidah. Pada zaman dulu, para waliyullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan seperti ini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.

Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.

Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah, ini semua karomah untuk mempertahankan keberadaan Allah.

Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran Islam kejawen.

Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah. Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang muktabar seperti Syekh Abdul Qadir Jailani dan Ibn Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.

Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau wafat di India.

Sumber Referensi:

http://www.tasawufislam.blogspot.com

Rabu, 23 Juni 2010

Sejarah Islam Nusantara

Tasawuf Islam: Sebelum kita lebih jauh melangkah pada topik "tasawuf nusantara", ada baiknya kita terlebih dulu mengetahui "Sejarah Islam Nusantara", karena Islam masuk dan dikembangkan di Indonesia oleh para sufi.

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar). www.tasawufislam.blogspot.com

Sumber:

http://www.ummah.net/islam/nusantara/sejarah.html

Minggu, 13 Juni 2010

Al-Gazali

Tasawuf Islam dari Putra Jagat Online: Nama lengkap Al-Gazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058/450 H – meninggal di Thus; 1111/14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Ia berkuniah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Sifat Kepribadiannya

Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Makkah, Madinah, Palestina, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlaq yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridho Allah SWT.

Pendidikannya

Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Makkah, Madinah, Mesir dan Palestina untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya 'Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.


Karya-Karyanya

Dibidang Ilmu Teologi
  • Al-Munqidh min adh-Dhalal
  • Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
  • Al-Risalah al-Qudsiyyah
  • Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
  • Mizan al-Amal
  • Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah[1][2]
Ilmu Tasawuf
  • Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama)[3], merupakan karyanya yang terkenal
  • Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)[4]
  • Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
Ilmu Filsafat
  • Maqasid al-Falasifah
  • Tahafut al-Falasifah,[5] buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
Ilmu Fiqih
  • Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
Ilmu Mantik (Ilmu Logika)
  • Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
  • al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
  • Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic).

Mazhab Dan Aqidah Al-Gazali

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

Komentar Para Pengeritiknya

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.

(18) Al Wasith.

(19) Al Basith.

(20) Al Wajiz.

(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Dialog Al-Gazali Dengan Santrinya

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan
murid-muridnya lalu beliau bertanya :

Imam Ghazali = ” Apakah yang paling dekat
dengan diri kita di dunia ini ?”

Murid 1 = ” Orang tua “
Murid 2 = ” Guru “
Murid 3 = ” Teman “
Murid 4 = ” Kaum kerabat “

Imam Ghazali = ” Semua jawaban itu benar. Tetapi
yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab
itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti
akan mati ( Surah Ali-Imran :185)….

Imam Ghazali = ” Apa yang paling jauh dari kita di
dunia ini ?”

Murid 1 = ” Negeri Cina “
Murid 2 = ” Bulan “
Murid 3 = ” Matahari “
Murid 4 = ” Bintang-bintang “

Iman Ghazali = ” Semua jawaban itu benar. Tetapi
yang paling benar adalah MASA LALU.
Bagaimanapun kita, apapun kenderaan kita, tetap
kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu.
Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari
esok dan hari-hari yang akan datang dengan
perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama”.

Iman Ghazali = ” Apa yang paling besar di dunia
ini ?”

Murid 1 = ” Gunung “
Murid 2 = ” Matahari “
Murid 3 = ” Bumi “

Imam Ghazali = ” Semua jawaban itu benar, tapi
yang besar sekali adalah HAWA NAFSU (Surah Al
A’raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu
kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke
neraka.”

Imam Ghazali = ” Apa yang palin berat didunia “

Murid 1 = ” Baja “
Murid 2 = ” Besi “
Murid 3 = ” Gajah “

Imam Ghazali = ” Semua itu benar, tapi yang
paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah
Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang,
gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika
Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah
(pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan
sombongnya berebut-rebut menyanggupi
permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia
masuk ke neraka karena gagal memegang
amanah.”

Imam Ghazali = ” Apa yang paling ringan di dunia
ini ?”

Murid 1 = ” Kapas”
Murid 2 = ” Angin “
Murid 3 = ” Debu “
Murid 4 = ” Daun-daun”

Imam Ghazali = ” Semua jawaban kamu itu benar,
tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah
MENINGGALKAN SOLAT. Gara-gara pekerjaan
kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat “

Imam Ghazali = ” Apa yang paling tajam sekali
didunia ini “

Murid- Murid dengan serentak menjawab = “
Pedang “

Imam Ghazali = ” Itu benar, tapi yang paling tajam
sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Karena
melalui lidah, manusia dengan mudahnya
menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya
sendiri “.

Perdebatan Al-Gazali Dan Ibnu Rusdi

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam
Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan
filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja
merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat
retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang
didasarkan pada logika demonstratif

Memperbincangkan kembali tentang perdebatan sengit
antara dua tokoh besar Islam, Al Ghazali dan Ibnu
Rushd, tak pernah kehilangan daya tariknya. Hal itu
pula yang menarik Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk
mengangkat karya-karya Ibnu Rushd sebagai bahan
pengajian Ramadlan tahun ini. Ada tiga kitab Ibnu
Rushd yang akan dibedah dalam pengajian itu, yaitu
Tahafut al-Tahafut, Fashl al-Maqal fima bain
al-Hikmati wa al-Syariati min al-Ittishal,dan Bidayah
al-Mujtahid. Pengajian pertama dibuka pada malam
selasa 10/10 lalu dengan menghadirkan dua pembicara,
yakni Mohamad Guntur Romli, dari Jaringan Islam
Liberal dan mahasiswa Filsafat Al-Azhar Kairo dan Dr.
Zainun Kamal, dosen filsafat Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Keduanya mencoba membedah karya
monumental Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut.

Ibnu Rushd adalah salah seorang filosof muslim yang
hidup pada abad XII. Ia dikenal sebagai seorang
penyelamat ruh filsafat yang telah hampir mati
dihantam oleh Al Ghazali melalui karyanya Tahafut Al
Falasifah. Ibnu Rushd, melalui bukunya Tahafut
al-Tahafut kembali menyerang Al Ghazali yang
dianggapnya telah merancukan pemikiran filsafat.
Perang pena antar dua tokoh besar Islam ini menurut
Guntur bukan hanya terjadi pada tulisan monumentalnya
Tahafut al-Tahafut. Sebelumnya Ibnu Rushd telah
beberapa kali mengkritik Al Ghazali dalam beberapa
tulisannya. Kitab Fashl al Maqal, misalnya, merupakan
serangan balik atas kitab Al Ghazali Faishal al
Tafriqah bain al Islam wal al Zindiqah. Begitu pula
kitabnya Bidayah al-Mujtahid juga merupakan tandingan
atas kitab Al Ghazali, Bidayah al-Hidayah.

Ambisi Ibnu Rushd dalam menyerang Al Ghazali ini
disinyalir oleh Guntur sebagai sebuah pertarungan
politis. Hal itu bisa dilihat dari biografi Ibnu Rushd
yang hidup pada masa dinasti Muwahhidin yang sangat
mengagungkan filsafat. Sebelum dinasti Muwahidin,
Cordova dikuasai oleh dinasti Murabithin. Dinasti ini
sangat membenci filsafat dan mengedepankan pandangan
fikih Dzahiri. Pada masa ini pula imam Al Ghazali
menghabiskan hidupnya. Sementara ketika kepemimpinan
negara diambil alih oleh Ibnu Tumurt, filsafat mulai
dikembangkan kembali. Pertarungan politis dan
ideologis di level pemerintahan itu sangat berpengaruh
pada kehidupan Ibnu Rushd. Hal itu bisa dimaklumi
karena Ibnu Rushd besar di lingkungan pemerintah.
Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim agung di
Cordova. Bahkan ketika dinasti Muwahhidin di bawah
kepemimpinan Abu Ya'kub, Ibnu Rushd juga menduduki
tiga jabatan penting dalam pemerintahan, yaitu sebagai
ketua hakim agung (qadhi al-qudhat), dokter istana,
dan penasehat raja. Sebagai seorang negarawan yang
loyal, Ibnu Rushd tentu merasa berkepentingan untuk
membela ideologi negara, papar aktivis Jaringan Islam
Liberal lebih lanjut.

Sementara itu DR. Zainun Kamal yang merupakan pakar
pengkaji Tahafut al Tahafut menjelaskan kerancuan Al
Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Menurutnya klaim
Al Ghazali atas kerancuan filsafat semata-mata karena
kesalahpahamannya dalam memahami filsafat. Dalam
mempelajari filsafat, Al Ghazali disinyalir tidak
mengambil sumber primer. Para filosof yang dikafirkan
Al Ghazali karena mengatakan kekadiman alam,
keterbatasan pengetahuan Tuhan pada yang universal,
serta kebangkitan jasmani, sebenarnya mendasarkan
logikanya pada filsafat Aristoteles. Sementara Al
Ghazali tidak membaca karya-karya Aristo, tandas
Zainun. Ia hanya membaca buku-buku terjemahan Aristo
yang sudah banyak mengalami distorsi dari kalangan
kristiani. Atau bahkan ia hanya membaca buku-buku
Aristotelian yang telah ditulis ulang oleh para
filosof muslim. Sehingga pemikiran itu sudah banyak
bercampur dengan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya
filsafat paripatetik. Inilah kerancuan Al Ghazali
yang ingin ditunjukkan oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut
al Tahafut, jelas Dosen filsafat UIN, Jakarta.

Kitab setebal seribuan halaman itu menurut Guntur
Ramli, mengomentari dua puluh masalah tentang
metafisika dan ketuhanan yang dibahas Al Ghazali dalam
Tahafut al Falasifah. Tujuh belas di antaranya,
menurut Al Ghazali menyebabkan orang yang
mempelajarinya menjadi zindik. Sementara tiga masalah
yang lain menyebabkan orang menjadi kafir. Tiga
masalah yang dimaksud adalah kekadiman alam,
keterbatasan ilmu Tuhan pada hal yang universal, dan
kebangkitan jasmani pada hari kiamat.

Takfir Al Ghazali atas para filosof itu, menurut
aktvis Jaringan Islam Liberal, Guntur Ramli, tidak
fair. Pasalnya pendapat para filosof tentang masalah
metafisika dan ketuhanan di atas didasarkan pada
logika filsafat. Sementara oleh Al Ghazali dipahami
dengan logika teologis. Perdebatan para filosof itu
adalah perdebatan filosofis, tetapi Al Ghazali
memahaminya dengan pemahaman teologis. Inilah yang
akhirnya menimbulkan kesalahpahaman terhadap
filsafat, tegasnya.

Oleh karena itu Ibnu Rushd dalam kitabnya yang lain
(Fashl al Maqal) menegaskan bahwa perdebatan atau
pembicaraan filsafat tidak bisa disebarluaskan kepada
sembarang orang. Hal itu bisa menimbulkan fitnah dan
klaim takfir. Ibnu Rushd menggolongkan masyarakat pada
tiga level. Pertama, orang awam, yaitu orang-orang
yang hanya bisa memahami teks agama secara retorik dan
lahiriah saja. Kedua, orang khawas, yaitu orang-orang
yang mampu memahami makna tersirat dari sebuah teks.
Mereka inilah yang dimaksud sebagai filosof atau ahli
hikmah. Golongan ini mampu memahami mawjudat (segala
ciptaan Tuhan yang ada) dengan pendekatan burhani
(demonstratif). Sementara di antara keduanya terdapat
mereka yang dianggap sebagai mutakallimun, yaitu
orang-orang yang memahami teks atau maujudat dengan
pendekatan jadali (dialektis).

Menurut Ibnu Rushd masing-masing golongan tersebut
tidak boleh melampaui kapasitasnya. Kesalahan fatal
yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al
Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat
kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak
cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi
juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada
logika demonstratif. Ibnu Rushd mentamsilkan bahwa
pemikiran bisa menjadi makanan bagi seseorang, namun
bisa menjadi racun bagi yang lain. Jika seseorang
tidak bisa membedakan antara racun dan makanan,
berarti ia adalah orang bodoh (al-jahil ). Namun jika
ia telah mengetahui hal itu racun dan tetap
memberikannya kepada orang lain sebagai makanan,
maka dia adalah orang jahat (al-syirrir).

Perdebatan filsafat Islam tentang ketuhanan dan
persoalan metafisika, dinilai oleh Dawam Raharjo,
intelektual muslim dan pendiri LSAF (Lembaga Studi
Agama dan Filsafat), yang hadir dalam diskusi
tersebut, sebagai pemikiran yang usang dan tidak
relevan untuk konteks sekarang. Oleh karena itu sudah
sejak dulu, saya tinggalkan filsafat Islam,
tandasnya. Hal ini berbeda dengan Barat yang
pemikiran filsafatnya bisa memengaruhi perkembangan
sain dan teknologi yang pesat.

Pernyataan Dawam itu diamini oleh Guntur. Menurutnya
tema-tema metafisika dan ketuhanan yang diangkat oleh
Ibnu Rushd sudah sangat usang dan sudah tidak relevan
lagi. Bahkan logika Aristoteles yang dikenal logika
klasik yang sangat diagungkan Ibnu Rushd pun sudah
banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern.
Lalu apa yang tersisa dari pemikiran Ibnu Rushd untuk
kita sekarang?, tanya Guntur. Menurut saya adalah
masalah rasionalitas dan penghargaannya pada akal
(al-ittijah al-aqlany ), dan metode kritisismenya
(al-manhaj al-naqdy) yang bisa dikembangkan dari
pemikiran Ibn Rusyd.

Hal ini dibantah oleh Doktor dari UIN Jakarta.
Menurut saya, yang menolak filsafat Ibnu Rushd adalah
orang awam, tegas Zainun yang disambut oleh gelak
tawa hadirin. Barat bisa seperti sekarang itu
sebetulnya banyak terinspirasi oleh Ibnu Rushd.
Karya-karyanya banyak diterjemah dan dipelajari di
sana. Bahkan hingga ada Avveroisme Latin dan
sebagainya. Dan yang harus diingat bahwa buku Tahafut
al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof Barat
untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan.
Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai. Memang
Barat tidak berhenti pada Ibnu Rushd, tapi
mengembangkannya lebih maju lagi. Lha kalau Islam
malah ingin membuang filsafatnya, bagaimana Islam bisa
maju? tanya Zainun sinis. Seharusnya kita yang
mengembangkan, tegas Doktor yang menulis disertasi
tentang Ibnu Rushd mengakhiri pembicaraannya.
www.putrajagatonline.blogspot.com
Catatan Kaki:
  1. Al-Ghazali. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. Cetakan I, 1409 H / 1988 M.
  2. Al-Gazali, Kasyf Ulum al-Akhirah, Berwisata ke Alam Ruh. Penerbit Marja', Bandung. Cetakan I, Dzulhijjah 1424 H / Januari 2004 M.
  3. Al-Gazali, Ihya Ulumuddin (pranala unduhan, unduhan 5.33 MB).
  4. Al-Gazali, The Alchemy of Happiness. Translator: Claud Field (1863-1941). Northbrook Society. 1909.
  5. Al-Gazali, Marmura. Al-Ghazali The Incoherence of the Philosophers (2nd edition). Printing Press, Brigham. ISBN 0-8425-2466-5.
Sumber Buku:
  • Laoust, H: La politique de Gazali, 1970.
  • Campanini, M.: Al-Ghazzali, in S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy 1996.
  • Watt, W M.: Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali, Edinburgh 1963.
Sumber Situs:

http://www.putrjagatonline.blogspot.com
http://www.ghazali.org/articles/gz1.htm

http://www.id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali
http://www.muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-2.htm
http://www.manakib.wordpress.com/2007/11/01/pertanyaan-imam-al-gazali

http://www.mail-archive.com/baraya_sunda@yahoogroups.com/msg01893.html

Al-Qusyairi

Tasawuf Islam dari Putra Jagat Online dari Abdul Karim Ibnu Hawazin Al-Qusyairi dalam bukunya yang berjudul Risalah Sufi Al-Qusyairi terjemahan Malaisyia di katakan bahwa: Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:

An-Naisaburi

Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asySyeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya.

Al-Qusyairi.

Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.

  1. Al-Istiwaiy
    Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
  2. Asy-Syafi'y
    Dihubungkan pada mazhab asy Syafi'y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'y (150 204 H./767 820 M.).
  3. Gelar Kehormatan
    Ia
    memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa'mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
    Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf

Nasab Ibundanya:

Beliau mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.

Kelahiran dan Wafatnya

Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja' al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.

Kehidupan Al-Qusyairi

Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit sahaja.. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.

Kepandaian Berkuda

Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.

Perkahwinan

Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 412 H./1014-1021 M.

Putera Puterinya

Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa'id Abdullah, 2) Abu Sa'id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy'ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun'im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As'ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa'id bin Abul Qasim al Qusyairy.

Menunaikan Haji

Maha Guru imam ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.

Belajar dan Mengajar

Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:

  1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
  2. Abu Abdurrahman - Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
  3. Abu Bakr - Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Maha Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
  4. Abu Bakr - Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
  5. Abu Ishaq - Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami' dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu'tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
  6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
  7. Abu Manshur - Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.

Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj'ar mazhab Syafi'y.

Disiplin Ilmu Keagamaan

  • Ushuluddin: Al Qusyairy belaj'ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy'ary.
  • Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi'y.
  • Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy'ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy'ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
    Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.

Forum Imla'

Maha Guru al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla' hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.

Forum Muzakarah

Maha Guru al Qusyairy juga sebagai pemuka forum-forum muzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. "Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.

Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya."
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi'iyah, karya Tajudddin as-Subky.

Murid-muridnya yang Terkenal

  1. Abu Bakr - Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392463 H./1002 1072 M.).
  2. Abu Ibrahim - Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./l 137 M.)
  3. Abu Muhammad - Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
  4. Abul Qasim - Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/118 M.)
  5. Abu Bakr - Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
  6. Abu Muhammad - Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
  7. Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
  8. Abu Muhammad - Abdullah bin Atha'al-Ibrahimy al-Harawy.
  9. Abu Abdullah - Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
  10. Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
  11. Abu Ali - al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
  12. Abul Tath - Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.

Cubaan yang Mendatang

Ketika popularitinya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.

Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu'tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu. Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.

Sumber:
http://www.putrajagatonline.blogspot.com/2010/05/al-qusyairi.html

Al-Muhasibi

Tasawuf Islam dari Putra Jagat Online: Saat ini kita coba mengumpulkan info tentang salah seorang Sufi Tasawuf Akhlaqi yang bernama Al-Muhasibi dari berbagai sumber penulis terdahulu yang ikhlash memberikan infonya kepada kita sebagai bahan kajian, setidaknya sebagai bahan study banding diri untuk peningkatan kualitas kesufian kita kepada Allah, mari kita simak tulisan berikut ini:

Biografi Singkat Al-Muhasibi

Al-Muhasibi bernama lengkap Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi, namun beliau lebih dikenal dengan nama Al-Muhasibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H/781 M. dan wafat di Bashrah (Irak) pada tahun 243 H/857 M.

Pandangan Tasawuf Al-Muhasibi

Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam. Al-muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, anmun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah karenaAllah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.

Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.

1. Pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun, dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “ pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:
  • Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan samat. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
  • Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
  • Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
  • Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan baqa’.

2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.

Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah.Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman). Al-quran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.

atinya; 15. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air,
16. Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
17. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.
18. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
Raja’, dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi.

Wejangan-Wejangan Al-Muhasibi

Apabila motivasi dalam mengajari dan membantu orang adalah ridha Allah semata, pahala pasti didapat. Tetapi jika motivasinya adalah hasrat untuk dihormati, dikagumi, dipuji dan diberi keuntungan duniawi, jangan lakukan kebaikan itu hingga motivasi anda berubah, sebab apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. (Q.s. Al Qoshosh : 60).

Kalau hati kacau karena kedua motivacsi silih berganti mengisi relung hati, jangan memaksakan diri hingga motivasi anda benar-benar mengharapkan ridha Allah Swt.

Kalau anda melakukan ibadah ritual atau ibadah social dengan ikhlas, lalu ada orang yang melihat hingga timbul semangat untuk meningkatkan kualitas ibadah, ada dua kemungkinan :
1. Kalau motivasi peningkatan kualitas adalah ria, and aria.
2. Kalau motivasinya ikhlas, anda pengikhlas sejati.

Apabila anda ragu dan tidak tahu sedang ria atau masih ikhlas, perbaharuilah niat anda dengan keikhlasan! Meskipun tidak memperbaharui niat, ibadah tetap sah, karena anda yakin akan ikhlas dan ragu akan ria.

Ikhlas dan ria pada hakikatnya adalah hasrat yang membonceng keinginan beribadah. Keinginan beribadah adalah hasrat melaksanakan perintah. Ikhlas adalah mendambakan pahala Allah Swt semata dan tidak peduli dengan keadaan duniawi. Ria adalah ambisi mendapatkan pujian, kehormatan dan tujuan-tujuan lain dalam beribadah.

Ada orang yang tidak tenang karena dipuji orang atas ibadah yang dilakukannya. Jalan keluarnya adalah mencermati jiwa. Kalau jiwanya tidak suka dan hatinya gelisah ketika dicela, dihina dan dilecehkan masyarakat, jelas ia telah ria. Sebaliknya, jika sikap masyarakat tidak mempengaruhi kalbunya, ia ikhlas. Mungkin pada awalnya ia ria dan senang dipuji, tetapi kemudian terlintas kesadaran untuk mengabaikan pujian, masih bisa dikategorikan ikhlas.

Kisah Dialogh Al-Muhasibi Dengan Gurunya
Imam Syekh al-Muhasibi bertanya pada gurunya Syekh Abu Ja'far Muhammad ibn Musa, Wahai Syekh Abu Ja'far, apa yg pertama harus kulakukan untuk sampai kepada Allah?
Dia menjawab, "Kembali kpd Allah, sebagaimana yg telah dikehendaki-Nya"

Syekh al-Muhasibi bertanya lagi, "Apa makna kembali kpd Allah?"
Dia menjawab, "Bertobat wahai anakku, sebagaimana yg dijelaskan Sa'id ibn Jubair ketika menjelaskan firman Allah, "Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat. (QS. al-Isro' : 25).

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apamakna Tobat?"
Gurunya menjawab, "Tobat adl menyesali perbuatan buruk (dosa) yg telah dilakukan, meneguhkan hati utk tdk melakukannya lagi, dan menjauhi setiap hal yg mendorong pd perbuatan itu, Allah berfirman, "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Al-Imron : 135).

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yg harus dilakukan oleh orang yg bertobat?"Gurunya menjawab, "Meninggalkan semua perbuatan dosa, memalingkan hati dari hasrat berbuat dosa, meninggalkan sikap munafik demi keuntungan pribadi, menghindari perselisihan dan mengikuti pendapat yg benar meskipun harus rela berkorban, mengembalikan hak2 orang yg telah diambilnya secara dzolim, dan menunaikan semua kewajibannya baik kpd Allah maupun kpd manusia, Allah SWT berfirman, "kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqoroh : 160).

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Lalu apa yg harus dilakukan setelah itu?"
Gurunya menjawab, "Memperbaiki makanannya (harus makan makanan yg jelas2 halal) karena makanan dpt mempengaruhi tingkah laku. Fungsi makanan seperti akal (baca: hati) yg menggerakkan aktivitas raga. Jika akal seseorang baik, maka baik pula seluruh aktivitas raganya. Makanan yg baik (halal dan berkah) akan memudahkan seseorang mengerjakan perbuatan2 yg layak dilakukan oleh orang2 yg taat kpd Allah".

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Lalu apa yg harus dilakukan setelah itu?"
Gurunya menjawab, "Menyesali apa yg telah diperbuat dan memperbaiki apa yg akan dilakukan, beristighfar dg lisan atas dosa2 yg telah lalu dan menghilangkan sama sekali keinginan berbuat dosa, berketetapan hati utk tdk kembali lagi pd perbuatan yg haram, dan menyesali perbuatan dosa yg telah dikerjakan sambil memohon kpd Allah dg sungguh2. Jika hal itu terus-menerus dilakukan, sangat mungkin Allah akan menerima tobatnya".

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yg menggerakkan seorang hamba utk bertobat? Kapan hatiku ini merasa mantap bahwa tobat diwajibkan atasku? Dan kpn aku merasa takut bhw tobat akan terlewatkan dariku?
Gurunya menjawab, "Dg mengenali Allah, seorang hamba akan segera mengetahui kewajiban bertobat, setelah ia melakukan dosa, Allah SWT berfirman, "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur : 31) dan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)" (QS. At-Tahrim : 8).
Guru Syekh al-Muhasibi (Syekh Abu Ja'far) melanjutkan fatwanya, "Wahai Pemuda, barang siapa yg tdk mengenal Allah, dia tdk akan mampu mengambil pelajaran kebijaksanaan. Tidakkah kamu mendengar Firman Allah, "dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Hujurot : 11). Maka,sesungguhnya Allah telah mewajibkan tobat kepadamu, dan Dia juga mengaitkan kamu dg kedzoliman, jika kamu tdk meninggalkannya. Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba mewajibkan atas dirinya bertobat dan menakut-nakuti dirinya dg siksa Allah, jika meninggalkan tobat.

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yg menguatkanku kewajiban bertobat ini?"
Gurunya menjawab, "Hendaknya hati senantiasa mengetahui bahwa ajal itu sangat dekat dan datangnya kematian adl secara tiba2. Hati juga dilatih utk khawatir terhadap harapan ampunan Allah yg belum tentu dikabulkan, dan membiasakan diri utk takut akan adzab Allah yg segera menimpanya, jika ia terus-menerus mengerjakan perbuatan dosa. "Luqman Hakim memberi nasihat kpd anaknya, "Wahai anakku, janganlah kamu menunda tobat, krn sesungguhnya datangnya kematian adl secara tiba-tiba". "Yg dpt menguatkan tekadmu utk bertobat ada 3 perkara, yaitu:
1. mengingat dosa yg lalu dg mengurangi makan dan minum (rajin berpuasa).
2. berupaya sekuat tenaga utk melaksanakan kemauan tobat sambil terus-menerus mengingat mati.
3. berpegang pd 2 perkara di atas dan tdk melupakan keduanya sehingga memudahkanmu utk mengingat mati, dosa dan tobat".

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yg menggerakkan seseorang utk bertobat dan bangkit dari kelengahan?
Gurunya menjawab, "Hendaklah dia senantiasa berada dlm keadaan takut akan siksa Allah (neraka) dan mengharapkan apa yg dijanjikan-Nya (surga). Sebab Allah SWT menyerukan kpd hamba2Nya utk meraih janji-Nya dan menjauhi ancaman-Nya. Allah SWT. menakut-nakuti mereka dg siksaan yg pedih, dan memotivasi mereka dg kerinduan memperoleh surga yg dijanjikan. Inilah yg menggerakkan hati seorang hamba utk bertobat. Dia juga mengimbau mereka utk selalu memperbaiki akhlaknya dan keutamaan dirinya."
Imam Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa tanda ketulusan dlm tobatnya seseorang?" Gurunya menjawab, Selalu bersedih atas umur yg telah dihabiskan utk kesia-siaan dan permainan; selalu khawatir, apakah tobatnya diterima apa tidak; Merasa kurang atas ibadah yg telah dipersembahkan kpd Allah dlm keadaan bersedih hati; Terus bersungguh-sungguh dlm mengerjakan amal soleh sambil merasa takut, jika tobatnya tdk diterima, Bersegera menuju ampunan Allah sambil merasa takut akan bujukan nafsu dan kenikmatan semu perbuatan dosa sehingga bumi menjadi sempit baginya, meskipun (sebenarnya) luas, Mengetahui bhw tdk ada tempat lari dari (siksa) Allah krn semua tempat adl milik-Nya. Allah SWT berfirman, "dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 118) ". Inilah kriteria orang yg bertobat dg ketulusan jiwanya".

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Adakah yg lain selain itu semua?"
Gurunya menjawab, "Ya. Orang yg bertobat harus memahami bahwa Tobat adl anugerah Allah SWT. Keinginan utk bertobat merupakan hidayah dan taufik-Nya, sehingga hati akan teguh melakukan amal saleh karena Allah. Anugerah yg ada dlm Tobat berasal dari ruh makrifat-Nya".

Syekh al-Muhasibi bertanya, "Jika telah sampai derajat ini, apakah orang yg bertobat masih diharuskan melakukan sesuatu?" Gurunya menjawab, "Ya, dia harus melakukan sesuatu yg tdk boleh ditinggalkannya, yaitu bersyukur kpd Allah atas anugerah tobat itu. Ini adalah suatu karunia utama Allah yg dianugerahkan kepadanya".
Imam masuk ke bab dua setelah materi "Tobat" adalah materi "Kelemahan Jiwa (Fitrah)"
Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa yg terjadi setelah tobat?". Gurunya menjawab, "Kembali kpd perbuatan dosa yg sama karena kelemahan jiwa untuk menjauhinya (fatrah)". Syekh al-Muhasibi bertanya, "Wahai Syaikh, bagaimana permulaan terjadinya kelemahan jiwa itu?" Gurunya menjawab, "Dorongan2 nafsu dan syahwat muncul dlm diri seseorang. Lalu, dorongan2 itu mendapat sambutan dari dlm jiwanya. Kemudian, jiwa itu merasa nyaman dlm keadaan lemah (fatrah), dan akhirnya iapun meninggalkan ketekunan dan kerja keras dlm menghindari perbuatan dosaSyekh al-Muhasibi bertanya, "Bagaimana kelemahan jiwa bisa menjadi kuat?" Gurunya menjawab, "Dari sedikitnya pengetahuan tentang manfaat tobat dan sikap meremehkan anugerah besar (hidayah tobat) yg Allah berikan kepadanya. Syekh al-Muhasibi bertanya, "Dari mana seseorang mendpt kelemahan seperti ini?" Gurunya menjawab, "Dari percampuran hati dg berbagai kesenangan dunia dan keseringan mengerjakan yg ringan (rukhsoh). Pada saat itu dia cenderung pd kelemahan jiwa (fatrah) dan kelalaian bertobat, sehingga menjadi tawanan hawa nafsunya." Syekh al-Muhasibi bertanya, "Apa tanda fatrah itu? dan apakah hati dpt mengenalinya?"
Gurunya menjawab, "Ya, wahai Pemuda, permulaan fatrah adl kemalasan. Jika ada penjagaan yg kuat, lenyaplah kemalasan itu. jika tdk, kemalasan akan terus meningkat dan timbullah hasrat utk melakukan perbuatan dosa. jika rasa takutnya menguat, ia akan menjadi penghalang bg dirinya agar tdk kembali pd perbuatan dosa. akan tetapi jika tdk, hasrat kembali utk melakukan perbuatan dosa akan bertambah kuat, dan dia akan lari dari ketaatan, kecuali jika niat yg kuat utk kembali kpd ketaatan masih ada dlm hatinya. jika tidak, ia akan menjadi orang yg sesat. Dan kita memohon perlindungan kpd Allah dari hal semacam itu." "Jika telah tersesat, dia keluar dari rasa takut (kpd Allah) dan masuk ke dlm rasa aman yg menghanyutkan. lalu, perbuatan dosanya akan meluas hingga ke tempat2 yg membinasakan orang byk. Pada saat itu tersingkaplah tirai keadilan Ilahi krn Dia membeberkan kejelekannya di hadapan semua orang. Hal yg demikian ini terjadi disebabkan oleh sedikitnya introspeksi diri (muhasabah)".
Imam masuk ke bab 3 kitab "al-Qosdu wa al-Rujuu ilaa Allah" yaitu bab muhasabah (Instrospeksi Diri) Syekh al-Muhasibi, "apa makna muhasabah (instropeksi diri) ?" Gurunya menjawab, "Akal selalu menjaga nafsu dari pengkhianatannya, mengetahui kekurangan diri, dan menilai baik buruknya perbuatan yg telah dikerjakan" Syekh al-Muhasibi berkata, "Jelaskanlah kpdku mengenai muhasabah ini secara detail?" Gurunya menjawab, "Hadapkanlah semua perbuatan yg telah kamu lakukan di hadapanmu. lalu kamu bertanya, 'mengapa aku harus melakukan ini ?' atau katakan kpd dirimu 'siapakah aku yg melakukan perbuatan ini ?' maka, jika perbuatan itu karena Allah, teruskanlah perbuatan itu. akan tetapi, jika karena selain-Nya, cegahlah perbuatan itu. celalah dirimu krn ia telah mengikuti dorongan hawa nafsu dan hukumlah ia atas perbuatan itu, dg demikian kamu akan mengetahui keburukan akalmu dan kamu harus menilai kebodohannya. kamu jg telah mengetahui bhw nafsu adl musuhmu krn ia telah menggelincirkanmu dlm dosa dan telah mengajakmu utk memutuskan hubungan dg Penciptamu". Syekh al-Muhasibi : "Dari mana sumber muhasabah itu ?" Gurunya : "Dari takut akan kekurangan, buruknya kerugian, dan keinginan utk mendapat kelebihan di dlm keuntungan. teman sejati akan mempertimbangkan kpd siapa dia bergaul krn khawatir mendapatkan kerugian. dia berharap mendptkan keuntungan yg berlimpah dari dagangannya. Hal ini seperti yg ditanyakan oleh Nabi Yunus as. kpd salah seorang perempuan ahli ibadah, "Dengan apa kamu mendapatkan kelebihan ?" Perempuan ahli ibadah itu menjawab, "Dg mencari Tuhan dan muhasabah". Syekh al-Muhasibi : Apa makna ucapan Umar bin Khottob "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab ?" Gurunya : Instropeksi diri dan mempertimbangkan segala hal yg dpt menjerumuskan jiwa dlm kebathilan, walaupun hanya seberat biji sawi" Syekh al-Muhasibi : "Apakah buah dari muhasabah (instropeksi diri) itu ?" Gurunya : "Bertambahnya kepandaian dan kecerdasan dlm memberikan argumentasi. dg instropeksi pengetahuan seseorang akan bertambah luas. dan ini bergantung pd kecakapan hati dlm mengevaluasi diri". Syekh al-Muhasibi: "Apa yg dpt menguatkan seorang hamba utk melakukan muhasabah?" Gurunya: "Dg tiga hal, pertama, memutuskan sgl hubungan yg dpt menyibukkan dirinya dari kemauan kuat melakukan muhasabah. sebab orang yg ingin menghitung hutangnya, dia harus mengosongkan hatinya dari setiap kesibukan. Kedua, menyendiri dlm muhasabah sehingga dia khawatir tdk mencapai apa yg diharapkan dari muhasabah itu, dan Ketiga, takut kpd Allah SWT. yg akan menanyai perbuatannya yg melampaui batas. Nabi saw. bersabda, "Hendaklah seorang mukmin memerhatikan saat2 ketika menghisab dirinya (HR. Abu Ya'la dan al-Bazzar dari Abu Hurairah)". Syekh al-Muhasibi : Dlm muhasabah, mengapa hati dpt dikalahkan?" Gurunya : "Krn hswa nafsu dan syahwat mampu menguasainya. Hawa nafsu dan syahwat adl lawan kearifan, ilmu dan kebenaran. akibatnya, hati dikalahkan dan dibutakan dari kearifan". Syekh al-Muhasibi : beritahukanlah kepadaku tentang hawa nafsu yg dpt menghalangi hati dari muhasabah ?" Gurunya : "hawa nafsu yg selalu bergantung pd syahwat dan cenderung pd kesenangan. hawa nafsu ini mempunyai kemampuan melemahkan jiwa dan menguasai hati sehingga mengikuti ajakannya". Syekh al-Muhasibi : "Bagaimana caranya aku menghukum nafsuku atas dosa yg dilakukannya?" Gurunya : "Pisahkanlah antara ia dan kesukaannya; ambillah cambuk utk menakutinya; lakukanlah pengawasan secara terus-menerus setiap gerakannya; kurangilah makanannya; biarkanlah ia dlm kehausan; sibukkanlah ia dg kerja keras; tahanlah amarahnya dg ancaman yg memberinya pelajaran. Dg semua itu, kamu dpt menundukkan kekuatannya dlm melemahkan jiwa dan penguasaannya terhadap hati. Wahai Pemuda, ketahuilah, pd saat itu nafsumu menjadi hina, ia akan tunduk kepadamu setelah kekuatannya lenyap, dan kekuasaannya hilang. dan, ia akan menempuh jalan yg lurus dan konsisten menapakinya (istiqomah) menuju Penciptanya. hanya kpd Allahlah kita memohon pertolongan (taufiq)".
Syekh al-Muhasibi : Wahai Syekh, anda telah menerangkan kpdku tentang melawan hawa nafsu, faktor apakah yg dpt menguatkan seorang hamba utk mengusir musuh2 jiwa, hawa nafsu dan setan?" Gurunya : "Faktor utama yg paling kuat adl kesadaran seorang hamba tentang kewajiban yg telah ditetapkan Allah kpdnya, yaitu senantiasa memerangi hawa nafsu. Allah SWT. berfirman, "Sesungguhnya setan adl musuh bagimu, maka anggaplah dia musuh (QS. Fathir : 6) dan firman-Nya, "Barang siapa yg mengikuti langkah2 setan, sesungguhnya setan hanya menyuruh perbuatan yg keji dan mungkar (QS. Nur : 21).

Kedua ayat tsb adl argumentasi yg dpt meneguhkan seseorang dlm memerangi musuh2nya. Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan hamba2nya utk memusuhi setan. dan Dia juga memerintahkan mereka utk memeranginya. inilah faktor yg menguatkanmu melawan musuhmu. jika kamu lengah, musuhmu akan mengalahkanmu dan menghalangimu beribadah kepada-Nya. Bukankah kamu tahu bhw Allah telah mewajibkan kamu utk melawan musuhmu dan memerintahkanmu utk memeranginya? maka, jika kamu telah mengetahuinya, jiwamu akan teguh melawannya, kemarahanmu akan melemahkan mentalnya, dan perhatianmu dlm mengendalikan nafsumu akan membantu mengalahkannya. Akan tetapi, ingatlah bhw musuhmu selalu memperbesar peluang utk menjatuhkanmu. dia akan terus menggodamu sehingga dpt mengalahkanmu. pd saat itu, kamu khawatir akan kemenangannya dlm menggodamu dan mengajakmu pd kemaksiatan yg dipicu oleh nafsumu. baik kamu sadari atau tidak, dia akan berusaha utk menghancurkanmu, menjatuhkan martabatmu di hadapan Tuhanmu, memburukkan citramu, menghilangkan keyakinanmu, dan melemahkan ketulusanmu utk melawannya."

Syekh al-Muhasibi : "Jelaskanlah kepadaku perbuatan apa yg dpt menolongku utk melawan dan menolak godaannya?" Gurunya : "Pahamilah dan bedakanlah antara dua seruan, yaitu seruan yg berasal dari Allah, dan seruan dari iblis, kemudian, perhatikanlah baik2, seruan manakah di antara kedua seruan itu yg lebih utama kamu penuhi. apakah yg lebih layak kamu penuhi adl seruan yg mengajakmu pd kebinasaan, kerugian sepanjang hidupmu, dan kefakiran yg membuatmu takut mengahadapinya ? ataukah yg lebih layak kamu penuhi adl seruan Tuhan yg telah mmberimu buk kenikmatan yg sejak azali selalu mengingatmu dan tdk pernah melupakanmu sesaat pun. bukankah Dia yg dlm keabadian-Nya mengkhususkanmu dg keyakinan thd yg gaib? bukankah dia yg telah menyerumu utk meraih surga-Nya dan kemuliaan-Nya? dan utk menikmati kelembutan kebijaksanaan-Nya dan kesempurnaan nikmat-Nya? Sesungguhnya musuhmu menghendaki terputusnya hubunganmu dg Allah, Tuhan dan Tuanmu. ia telah memasang byk perangkap yg dpt menjeratmu dlm dosa dan menjatuhkan citramu sbg hamba-Nya. di antara perangkap itu adalah prasangka yg buruk, cepat menyerah dan putus asa, keragu-raguan dlm keimanan. tipu dayanya sangat lihai dan jerat2nya sangat halus dan kuat sehingga ketika ia menipu dan menjeratmu, kamu tdk merasakan bhw kamu dlm tawanannya. dan kamu pun tidak merasa telah melakukan kesalahan dan dosa."Allah SWT. berfirman, "(Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah dan setan telah menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan) yang benar (sehingga mereka tidak dapat petunjuk) (QS. An-Naml : 24) Dan (juga) kaum `Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam. (QS. Al-Ankabut : 38).

"Ketahuilah musuhmu ingin menjauhkanmu dari kedekatan dg Allah, pahala yg byk dan nikmat-Nya yg utama. ia memberi keraguan dlm dadamu, menghilangkan ketenangan dlm jiwamu dan menciptakan kebingungan dlm hatimu. ia telah mencabut kesabaranmu dan menggantinya dg kegelisahan. ia telah merebut keridhoanmu atas keputusan-Nya dan menggantikan kebencian kepada-Nya. ia telah melemahkan ketekunanmu dlm beribadah kepada-Nya dan mengganti dg kemalasan".

"Musuhmu telah menghalangimu utk memperoleh keyakinan dan keteguhan dlm jaminan rezeki, kecukupan dan perlindungan Allah karena keimananmu dan ketaatanmu kepada-Nya. ia telah mengajarimu kekikiran, menakut-nakutimu dg kefakiran dan panjang angan2, berburuk sangka thd janji Tuhan dan melemahkan niatmu. ia telah merusak ketetapan2 hatimu, menunda-nunda keinginanmu utk bertobat, menghalangimu dari menyambut seruan Tuhan, dan ingin menjatuhkanmu di sisi Pencptamu Yg Maha Suci lagi Maha Tinggi."

Syekh Al-Muhasibi : mungkinkah seseorang menerima ajakan orang yg membencinya dan menaati orang yg akan membinasakannya?" Gurunya: mungkin, sebab seseorang terkadang tdk cermat dlm meneliti sikap keberagamaannya. ia memahami pokok2 agama, tetapi tergelincir krn meremehkan hal2 kecil yg diutamakan oleh agama. disebabkan oleh kelalaiannya, ia bisa saja menentang hal2 yg prinsip dlm agama, dan disebabkan oleh pengetahuannya yg dangkal, ia dpt saja tdk mengetahui kebenaran sejati. ktk berada dlm keimanan yg kuat, seseorang mungkin akan membenci musuhnya dan meyakini kejahatannya. pd waktu itu, ia tdk akan menerima ajakannya, namun ketika ia lalai, hal sebaliknya dpt saja terjadi. "Ingatlah musuh2 jiwa (nafsu dan setan) akan selalu membujukmu dan merayumu. mereka akan mendatangimu sambil menunjukkan bukti bhw melakukan kesalahan2 ringan tdk berbahaya. mereka juga meyakinkanmu bhw mengikuti ajakan dan seruannya tdk membahayakan. lalu hawa nafsumu tertarik utk mengikuti bujuk rayunya. Ingatlah di saat rayuan musuhmu telah kamu turuti, kamu akan terbiasa melakukan dosa2, lalu kamu akan meremehkan agama dan akhirnya kamu akan menjadi tawanan musuhmu selamanya. pd waktu itu matamu akan buta dari melihat kearifan, dan telingamu akan tuli dari mendengar kebenaran. kamu akan menjadi abdi setan krn telah mematuhi semua ajakannya. "oleh karena itu enyahkanlah musuhmu; carilah jalan keselamatan dg senantiasa melawannya dlm semua keadaan. Rayuan, godaan, dan bujukan singkirkanlah! waspadalah terhadap semua tipu dayanya. kemudian berpegang teguhlah pada kewaro'an."
Imam dan sekarang masuk bab 5 dengan bahasan "Waro' "

Syekh al-Muhasibi : apa makna waro'?
Gurunya : "Waro' ialah penyelidikan yg dilakukan oleh hati ketika hendak mengerjakan suatu perbuatan sehingga ia dpt membedakan antara yg hak dan yg bathil"

Syekh al-Muhasibi : adakah jawaban lain?
Gurunya : Ya, menghilangkan apa yg meresahkan hati dan meninggalkan apa yg diragukannya

Syekh al-Muhasibi : Mohon dijelaskan kembali maksud ucapan anda tadi?
Gurunya : Hakikat waro' adalah meninggalkan apa yg meragukanmu dan melakukan apa yg meyakinkanmu

Syekh al-Muhasibi : Dari mana sumber waro' itu?
Gurunya : Waro' bersumber dari rasa takut (murka Allah)

Syekh al-Muhasibi : Apa tanda waro' itu?
Gurunya : Meninggalkan penyakit2 hati dan menyelidiki sebab2 yg menimbulkannya

Syekh al-Muhasibi : Apa yg menguatkan seseorang utk berbuat waro'?
Gurunya : Takut kepada-Nya. jika takut telah tertanam dlm hatinya, ia akan berbuat waro', yaitu bersikap hati-hati agar perbuatannya tdk menimbulkan dampak negatif

Syekh al-Muhasibi : Keadaan apakah yg menambah rasa takut kepada-Nya?
Gurunya : Mengetahui kesaksian hati pd kemurkaan Allah dan siksaan-Nya

Syekh al-Muhasibi : Lalu, apa lagi yg dpt menambahnya ?
Gurunya : wahai pemuda, pengetahuan waro' itu bersumber dari makrifat, oleh karena itu, keutamaan waro' bergantung kpd seberapa besar rasa takut yg bersemayam di dlm jiwa seseorang dan seberapa luas pengetahuan yg dimiliki hatinya. dan waro' itu sesuai dg kadar kobaran rasa takutnya

Syekh al-Muhasibi : Hal apa yg dpt melemahkan sikap waro' ?
Gurunya : Kecenderungan kpd dunia, ketamakan, dan hasrat utk menguasainya. padahal tdk akan merugi orang yg kehilangan dunia

Syekh al-Muhasibi : apa derajat paling tinggi yg dicapai oleh orang waro' ?
Gurunya : Derajat waro' yg paling tinggi adalah awal derajat kezuhudan
Sumber:
http://www.putrajagatonline.blogspot.com
http://www.tipskom.co.cc/2009/09/al-muhasibi-pandangan-tasawufnya.html
http://www.alfurqon.or.id/component/content/article/356-nasehat-nasehat-al-harits-al-muhasib
http://www.facebook.com/topic.php?uid=152606826624&topic=11918i