Selasa, 05 Mei 2009

Aliran Tasawuf Memeliki Sifat Fanatisme Terhadap Syaikh Mereka

www.tasawufislam.blogspot.com dari www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=21, dijelaskan bahwa: Sekalipun mereka menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat : 1).

Dan rasulullah SAW bersabda :
Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam berbuat baik. (HR. Bukhari & Muslim).

Namun kebanyakan manusia sekarang ini mengambil apa saja yang dikatakan oleh gurunya tanpa mau memeriksa apakah perkataan gurunya itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Dia menelan apa saja yang dikatakan oleh gurunya yang disangkanya gurunya bebas dari kesalahan, maka jika gurunya sesat maka sesat pulalah dia, padahal dia bertanggung jawab terhadap setiap amalan dirinya kelak di hadapan Allah SWT.

Demikianlah yang menimpa ummat-ummat terdahulu, mereka mengikuti saja apa yang dikatakan oleh para guru-guru mereka, tanpa menyesuaikannya dengan Kitab yang telah diturunkan kepada mereka.

Allah berfirman :
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa. Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At-Taubah : 31).

Saat Rasulullah SAW membaca ayat ini didepan para Shahabatnya, maka berkata seorang Shahabat yang bernama ‘Adiy bin Hatim ; “Sungguh kami tidak menyembah mereka.” Beliau SAW bertanya ;”Tidakkah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamupun mengharamkannya ? dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah, lalu kamupun menghalalkannya ?” Aku (‘Adiy)menjawab, “Ya”. Maka beliau bersabda;”Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.” (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan sanad Hasan).

Jadi, orang-orang terdahulu tersesat karena mereka mengikuti secara membabi buta guru-guru mereka tanpa menghiraukan apakah yang diserukan oleh guru mereka itu sesuai dengan Kitabullah ataukah tidak, demikian pengalaman ‘Adiy bin Hatim saat belum memeluk Islam.

Persis seperti apa yang dialami oleh sufi tarekat naqsyabandiyyah :
Ia (Syaikh Naqsyaband) pernah diundang oleh sebagian sahabatnya di Bukhara. Ketika hendak menuju Maroko, ia berkata kepada Maula Najmuddin Dadark,
Apakah engkau akan melaksanakan semua yang aku perintahkan kepadamu ?
Ia menjawab : Ya.
Ia berkata :Jika aku memerintahkanmu untuk mencuri, apakah engkau akan melakukannya ?
Ia berkata :Tidak.
Ia berkata :Mengapa ?.
Ia menjawab :Karena hak-hak Allah itu bisa dihapus dengan taubat, sedangkan ini termasuk hak-hak hamba. Ia berkata :Jika engkau tidak mau melaksanakan perintah kami maka jangan bersahabt dengan kami.

Maula Najmuddin sangat terkejut mendengar hal itu dan bumi yang luas telah terasa sempit olehnya. Dan ia kemudian menampakkan taubat dan penyesalannya serta berketetapan hati untuk tida melanggar perintahnya. Para hadirinpun menaruh rasa kasihan kepadanya dan mereka meminta syafaat dan maaf kepada Syaikh Naqsyaband untuknya. Ia pun memaafkannya. (AL-Mawahibus Sarmadiyyah, 138, Al-Anwarul Qudsiyyah, 140 dan Jamiu Karamatil Auliya, 1/ 150).

Tanggapan :
Ini adalah kebiasaan syaikh-syaikh tasawuf. Mereka biasa melatih murid-muridnya untuk taat buta sekalipun didalamnya terdapat perihal meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan memperingatkan mereka bila bersikap ingkar dan menyanggah. Mereka memiliki jargon yang terkenal : Jangan menyanggah, niscaya engkau akan tersisih.

Padahal Rasulullah SAW telah bersabda :
Tidak ada ketaatan dalam berbuat maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perbuatan maruf (baik). (HR. Muslim (1840), dan Bukhari 8/106 Kitabul Ahkam dan 8/135 bab Ijazati Khabaril Wahid).

Rasulullah SAW juga bersabda :
Wajib atas seorang muslim untuk patuh dan taat dalam hal-hal yang ia sukai dan hal-hal yang ia benci kecuali jika ia disuruh untuk melakukan maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan dalam hal itu. (HR. Muslim (1839) dan Al-Bukhari 8/106 Kitabul Ahkam). www.tasawufislam.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar